Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Fenomena Pendidikan di Indonesia Tahun 2022-2023


Penulis: Ahmad Habib Nasution, mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana
UIN Syahada Padangsidimpuan
 
 
Tahun 2023 ini, sekitar 273 juta manusia hidup di Negara Indonesia dengan 52 juta siswa, 3 juta guru, dan 217 ribu sekolah. Indonesia menjadi negara dengan sistem pendidikan terbesar ke-4 di dunia di bawah India, China dan Amerika. Apakah ukuran yang besar ini berbanding lurus dengan kualitasnya? Berdasarkan data dari PISA di tahun 2021, Indonesia berada di peringkat 70 dari 79 Negara dalam bidang matematika, ranking 67 dari 79 Negara dalam bidang Science, dan ranking 66 dari 79 negara dalam bidang reading. 

Data tersebut berbanding terbalik antara kuantitas dengan kualitas pendidikan. Pertanyaannya adalah mengapa bisa separah itu? Apa yang salah dari pendidikan Indonesia? Bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi tersebut?

Berbicara soal pendidikan, Presiden Joko Widodo sebetulnya sudah menganggarkan Rp545,5 triliun untuk sektor pendidikan, atau sebesar 20 % dari APBN. Kontribusi sektor pendidikan kepada GDP masih rendah, hanya 3,8%. Porsentase tersebut berada di bawah rata-rata Negara di Asia Pasifik, yaitu 4,6%. Qatar yang kemaren menjadi tuan rumah piala dunia yang kata orang-orang negaranya dikritik karena banyak negatifnya, namun kontribusi sektor pendidikan Qatar itu sebesar 6,9%. Jadi, pendidikan Indonesia itu badgetnya besar tetapi kontribusi dan dampaknya ternyata relatif rendah. 

Hal ini menimbulkan pros dan cons. Adapun pros (pro/hal-hal yang menguntungkan dari suatu persoalan) adalah sistem pendidikan yang berfokus pada mata pelajaran inti. Meskipun banyak orang yang berpendapat kalau Indonesia itu terlalu generalis, banyak mata pelajarannya, dan kurang fokus. Akan tetapi, sistem pendidikan Indonesia seperti itu dapat membantu membangun pondasi dangan pengetahuan yang solid. Jadi, jangan heran lebih banyak generalis dari pada spesialis.

Selain itu, sistem pendidikan yang berstandar nasional. Artinya, kurikulum yang terstandar dari pemerintah dan membantu siswa-siswa dari Sabang sampai Merauke memiliki kualitas yang sama dan konsisten meskipun pada implementasinya banyak sekolah yang tidak seimbang di negeri ini.

Terakhir, pros dapat dilihat pada terintegrasi dengan nilai-nilai nasionalisme, seperti upacara, pelajaran PPKN, sejarah dan kebudayaan Indonesia. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan kita terintegrasi dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme.

Di sisi lain, sistem pendidikan Indonesia memiliki perdebatan atau cons. Apa saja itu, mari kita lihat penjelasan berikut ini. Pertama, kurikulum yang cenderung tidak relevan dengan kebutuhan masa kini. Banyak yang membahas bahwa kurikulum kita ketinggalan zaman dan kurang mampu mempersiapkan siswa untuk bersaing di lapangan kerja. Tenaga kerja Indonesia kalah bersaing dengan tenaga kerja asing atau belum punya keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja.

Kedua, kurangnya wadah atau program untuk melatih critical thinking. Murid-murid tidak sering mengajukan pertanyaan. Murid lebih suka mencatat dan menghafal sebaliknya beberapa kasus murid dimarahi kalau banyak tanya kepada gurunya. 

Ketiga, ruang yang relatif sempit untuk mengeksplor minat siswa. Ini sangat menarik karena di sini kita membicarakan salah jurusan. Data statistik menunjukkan bahwa 90% orang Indonesia itu salah jurusan. Lebih menariknya lagi, orang masuk psikologi dipikir bakal tidak belajar matematika. Itulah banyak yang salah kaprah karena minatnya itu tidak dilatih dari sejak dini. 

Pendidikan kita lebih fokus sama core subject seperti matematika, sains, dan bahasa. Kurikulum kita menginginkan siswa untuk belajar dari jam 07.00 WIB sampai jam 12.00 WIB atau bahkan ada yang sampai jam 15.00 WIB. Ada yang lebih memperparah situasi siswa yaitu memberikan pekerjaan rumah (PR) dan kerja kelompok. Akhirnya, siswa tidak memiliki waktu yang memadai untuk mengembangkan minat mereka sendiri.

Sebenarnya tujuan dari pendidikan itu apa? Tujuan pendidikan itu tentu untuk menyiapkan manusia agar terampil dalam menjalani hidupnya. Pendidikan dapat membantu manusia supaya punya skill dalam menjalani hidup, skill untuk pekerjaan, skill untuk relationship, dan skill lainnya.

Ada riset yang mengatakan bahwa nilai sekolah itu berkolerasi terhadap kesuksesan. Namun, kalau dilihat dalam kehidupan nyata, sebenarnya banyak juga orang yang nilainya rendah tetapi bisa sukses. Beberapa ilmuwan seperti Albert Einstein, dan Steven Spielberg yang tidak memerlukan indeks prestasi yang tinggi.

Masalah yang kedua, Elon Musk pernah berkata bahwa sekolah itu hanya menjelaskan “apa” tetapi bukan “kenapa”. Kita memang banyak belajar di sekolah. Kita belajar puluhan pelajaran, seperti fisika, matematika, geografi dan lain sebagainya. Kita mengetahui konten pelajaran namun kita tidak tahu mengapa konten itu dipelajari. Apakah semua guru bisa menjelaskan alasan mengapa pelajaran-pelajaran tersebut yang diajarkan di sekolah? Kita banyak yang tidak tau mengapa kita perlu belajar geografi, dan mengapa kita perlu belajar matematika. Hal ini mungkin sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelajaran itu nantinya tidak akan dipakai di pekerjaan.

Masalah yang ketiga, Sir Ken Robinson pernah menyebutkan bawah sekolah itu sebenarnya membunuh kreativitas muridnya. Murid dipaksa untuk mengekor dan menurut terus-menerus untuk melakukan hal yang sama. Murid diajari hal yang sama dengan semua orang dan punya standar yang sama dengan orang lain. Lalu, kapan mereka harus belajar? Kapan mereka harus berhenti belajar? Kapan harus dapat nilai? Sistem pembelajaran yang seperti itu menurut Robinson membuat kreativitas siswa mati.

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah