Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Gen-Z, Depresi dan Bunuh Diri


Belakangan ini, kita sering mendengar sejumlah insiden dugaan bunuh diri yang melibatkan mahasiswa yang ramai diberitakan. Sebagai contoh, pada hari Selasa, 10 Oktober 2023, terdapat laporan dugaan bunuh diri yang melibatkan seorang mahasiswa berusia 20 tahun dengan inisial NJW, yang ditemukan meninggal di Mal Paragon, Semarang, Jawa Tengah. Keesokan harinya, yaitu pada Rabu, 11 Oktober 2023, kota yang sama juga menjadi lokasi kasus dugaan bunuh diri mahasiswa berusia 24 tahun dengan inisial EN, yang ditemukan tewas di indekostnya.

Bunuh diri adalah hasil akhir dari permasalahan kesehatan mental yang serius. Emosi seperti kesedihan, kebingungan, kekecewaan, kemarahan, atau perasaan kehilangan dapat menjadi pemicu depresi dan dorongan untuk melakukan bunuh diri.

Menurut informasi dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), terdapat 971 insiden bunuh diri yang tercatat di Indonesia dari Januari hingga 18 Oktober 2023. Jumlah ini melebihi angka kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022, yang mencapai 900 kasus.

Generasi Zoomers atau dikenal dengan Gen-Z, sebagai kelompok generasi yang kelahirannya berlangsung setelah generasi millennial. Gen-Z dilahirkan dalam periode tahun 1995 hingga 2010. Mereka sering disebut sebagai generasi yang mengalami transisi signifikan dalam hal teknologi seiring dengan perkembangan yang semakin pesat.

Terlepas dari problematika Gen-Z banyak sisi postif Gen-Z di antaranya menguasai teknologi dan mampu beradaptasi menggunakan alat-alat digital dengan cepat, mampu leluasa mengembangkan kreativitas dan memiliki inovasi yang tinggi.

Namun, Gen-Z juga memiliki karakteristik yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka, seperti terpapar kekerasan media. Seperti apa yang diungkap oleh APJII (Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia) bahwa Gen-Z aktif dalam menggunakan sosial media, dalam satu hari tidak kurang dari 8 jam. Belum lagi tekanan untuk sukses dan terlihat baik di media sosial. Jika Gen-Z tidak bisa memanfaatkan teknologi secara bijak maka akan tumbuh menjadi pribadi yang individualis, egois, dan anti sosial serta mudah mengalami depresi.

Selain itu, kurangnya kemampuan mereka untuk menghadapi risiko. Gen-Z seringkali tidak sabar dan menginginkan solusi instan dari masalah yang sedang mereka hadapi. Hal tersebut dikarenakan mereka terbiasa dengan komunikasi online yang cepat dan efisien, serta kebutuhan sosial yang tidak terpenuhi.

Akibat terparah dari depresi yaitu dengan mengisolasikan diri, self harm dan keinginan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri. Jika merasa depresi, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan pertama, bertemu dengan psikolog atau psikiater hal ini bisa menangani krisis bunuh diri. Tidak hanya itu, tatap muka dengan tenaga profesional (peksos medis) juga akan memberikan advice dan jalan keluar terhadap depresi yang dialami serta menjamin kerahasiaan informasi pribadi.

Kedua, perkuat ibadah atau pendekatan kepada Tuhan yang maha Esa. Tidak ada satu agamapun yang memperbolehkan bunuh diri. Misalnya dalam Islam, bunuh diri termasuk perbuatan yang terlarang,  seperti yang dijelaskan pada QS An-Nisa ayat 29:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

Ketiga, jaga kesehatan fisik, melakukan olahraga secara rutin serta perbanyak interaksi dengan orang lain serta tidak mengisolasikan diri.

Keempat, batasi penggunaan media sosial. Penting bagi Gen-Z untuk bisa membatasi penggunaan media sosial. Mulai dari durasi penggunaan sampai pada konten atau isi media sosial tersebut, carilah konten-konten yang edukatif. 


Penulis: Ageng Widodo, M.A., Dosen Fakultas Dakwah UIN SAIZU Purwokerto

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah