Penulis: Asep Safa'at Siregar, S.Sos.I, M.Pd
Guru dan Kepala Divisi
Humas di Pesantren Darul Mursyid (PDM), Tapanuli Selatan. Alumni Pascasarjana
IAIN Padangsidimpuan.
Pendidikan menjadi modal utama bagi seorang manusia dalam menempuh kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Namun, pendidikan tidak hanya didapatkan di sekolah formal yang harus dilegalkan dengan ijazah. Akan tetapi, pendidikan dalam arti yang luas yang mampu meningkatkan potensi dan skill seseorang, meski tidak harus disertai dengan sertifikat atau sejenisnya.
Di sebagian besar negara kita, tingkat pendidikan seseorang menjadi patokan tingkat sosial seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat akan selalu beranggapan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan seseorang yang hanya menjadi lulusan SD, SMP, dan SMA. Masyarakat begitu menghargai dan menyegani orang-orang yang menyandang banyak gelar tinggi dalam dunia pendidikan.
Bahkan seringkali orang tua menganggap kesuksesan anak diukur dengan perolehan nilai-nilai yang bagus dalam setiap mata pelajarannya. Padahal faktanya kita lihat, sungguh banyak tokoh dunia yang tidak terpaku pada rutinitas perkuliahan dan memutuskan untuk mengeksplorasi kemampuannya dan berguru pada kehidupan sehingga bisa sukses bahkan memberikan manfaat yang besar pada kehidupan.
Di sisi lain, kita pasti pernah mendengar nama Bill Gates yang memutuskan keluar dari kampus dan mendirikan Microsoft bersama Paul Allen. Demikian halnya dengan Tiger Wood yang memilih menekuni hobinya bermain golf sehingga mengantarkannya menjadi juara dunia daripada meneruskan kuliahnya. Sama halnya dengan Steve Jobs adalah salah satu contoh orang yang awalnya kurang beruntung karena tidak bisa meneruskan kuliahnya disebabkan masalah finansial keluarga. Akan tetapi dengan tekad dan kegigihannya, Steve Jobs menjadi salah satu orang yang memberi kontribusi yang besar pada dunia. Dengan kemampuan Steve Jobs memungkinkan kita menikmati kecanggihan iPad dan iPhone, sebagai salah satu dari sekian banyak inovasinya.
Dalam situs Ciputraentrepreneurship menampilkan wawancara yang cukup menarik antara New York Times dengan Laszlo Bock, pimpinan operasional Google mengenai sistem perekrutan karyawan di Google. Ternyata, Google memilih untuk menghindari lulusan top dengan nilai terbaik untuk menjadi karyawan dengan alasan mereka yang biasanya lulusan dengan predikat terbaik dianggap tidak memiliki “kerendahan hati intelektual” karena dididik untuk mengandalkan bakat mereka sehingga kurang mampu beradaptasi saat terjun ke dunia kerja. Menurut Bock, orang yang sukses tanpa mengenyam pendidikan formal adalah orang-orang yang luar biasa. Sebab, baginya kemampuan untuk belajar adalah hal yang lebih penting daripada tingkat kecerdasan, gelar akademik maupun ijazah dengan banyak nilai A.
Lembaga pendidikan tidak hanya fokus mengeluarkan ijazah. Lebih dari itu, yakni menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki daya saing dan skill yang mampu bersaing. Tentu peran pemerintah perlu hadir untuk mendorong setiap upaya yang ditujukan untuk pengembangan skill dan bakat anak bangsa. Oleh karena itu, sebagai pihak penyelenggara pendidikan, pemerintah sudah seharusnya cepat bergerak untuk membenahi segala tantangan permasalahan pendidikan di Indonesia yang begitu banyak sehingga menempatkan Indonesia dalam ranking yang sama sekali tidak membanggakan di dunia dalam masalah pendidikan. Bisa dimulai dari menjauhkan bahkan memisahkan pendidikan dari dunia politik sehingga posisi-posisi strategis dalam kewenangan pendidikan dapat diisi dengan orang-orang yang benar-benar kompeten dan mempunyai visi yang bagus untuk memajukan pendidikan Indonesia.
Akan sangat menentukan bila orang-orang yang dipilih adalah orang-orang yang sudah mempunyai peran dan karya nyata sebelumnya. Mereka yang rela mengerahkan segenap upaya dan kemampuannya dalam bidang pendidikan dan memberikan kesempatan pada banyak kalangan yang tidak beruntung untuk bisa menikmati pendidikan. Pengambil kebijakan di bidang pendidikan bukan dari parpol atau golongan tertentu yang mungkin hanya akan mewakili kepentingan kelompok tertentu dalam kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan.
Dengan menjauhkan pendidikan dari kepentingan-kepentingan politik, diharapkan orang-orang yang berkompeten dapat dengan tepat membuat kebijakan-kebijakan yang sepenuhnya didasarkan pada kepentingan dunia pendidikan di Indonesia. Anggaran dapat sepenuhnya dikelola untuk kemajuan pendidikan dengan membangun sarana, prasarana dan fasilitas yang bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Pemerataan pendidikan sebagai hak seluruh warga negara Indonesia dapat diakses oleh setiap anak di negara ini. Para orang tua dan anak bisa merasa tenang tanpa rasa was-was karena dapat bersekolah di dalam gedung dan bangunan penunjang pendidikan yang layak dan aman untuk anak di seluruh wilayah Indonesia.
Tidak kalah penting perhatian yang serius pada Guru. Mutu guru sebagai ujung tombak pendidikan yang menentukan kualitas anak-anak generasi penerus bangsa perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah. Hal ini bisa diwujudkan bila pemerintah bisa menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang baik untuk para calon guru. Sebab, akan sulit bagi seorang guru bisa mendidik anak dengan baik, bila ia sendiri tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Tidak kalah penting adalah memberikan gaji yang lebih besar bagi guru dan penyetaraan antara guru ASN dengan guru honor. Dengan demikian, guru lebih fokus untuk mengantarkan anak didiknya berhasil. Guru tidak lagi khawatir dengan biaya dan kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehingga orang-orang pintar pun mau dan berminat jadi guru.
Hal penting yang juga harus disadari bahwa pendidikan bukan hanya sebagai human investment saja. Akan tetapi, pendidikan menjadi tanggung jawab bagi seseorang yang sudah mengenyam pendidikan. Tugas insan pendidikan bukan mengumpulkan nilai dan sertifikat sebanyak-banyaknya, tetapi juga berfikir dan berupaya keras menciptakan inovasi-inovasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Pada akhirnya, pendidikan tidak hanya berguna untuk dirinya tetapi juga bagi orang lain yang ada di sekitarnya. Misalnya sebagai mahasiswa, jangan selalu berfikir untuk mendapat pekerjaan. Para mahasiswa mestinya berfikir agar setelah tamat menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Memang ijazah tetap penting tetapi ilmu dan esensi dari pendidikan dan tanggung jawab moral jauh lebih penting. Saatnya kita memikirkan hal lain selain ijazah, baik lewat keorganisasian untuk melatih soft skill, atau lewat komunitas-komunitas, ataupun meningkatkan bakat kita yang lain yang akan membantu kita menggapai impian atau cita-cita kita.
Harapannya bahwa lembaga pendidikan kita bukan hanya mencetak ijazah dan menamatkan peserta didiknya dengan nilai yang bagus, tetapi juga bertanggung jawab pada kualitas setiap alumninya. Dengan begitu, generasi bangsa yang akan datang mampu bersaing dengan bangsa lain baik dari segi ilmu pengetahuannya maupun dari segi skillnya. Semoga dunia pendidikan kita semakin maju dimasa mendatang. Amin!
0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda