Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Santri Dalam Bingkai Moderasi Beragama



Penulis: Pahri Siregar, M.Pd.I.
UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

 

Menurut Profesor Jhons, Santri berasal dari Bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. C.C Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata shastri dalam Bahasa India yang berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Zamakhsary Dhofier menyampaikan bahwa santri adalah murid yang mengikuti pelajaran di pesantren. Santri merupakan salah satu elemen terpenting pesantren sehingga besar atau kecilnya sebuah pesantren ditentukan banyak atau sedikitnya jumlah santri yang belajar di pesantren tersebut.

Santri adalah sebutan pelajar di lingkungan pesantren. Bahkan, bukan hanya belajar tetapi semua aktivitas sehari-hari berada di lingkungan pesantren. Pesantren sendiri dikenal dengan sebutan pesantren tradisional dan pesantren modern. Pesantren tradisional memiliki kurikulum agama, dan kitab kuning sebagai ciri khas. Pesantren Modern memiliki kurikulum yang bisa jadi seimbang antara pelajaran ilmu agama dan ilmu umum. Tentu keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Namun, sejak moderasi beragama digaungkan oleh Kementerian Agama tahun 2019 yang lalu, maka perlu ada tambahan materi bagi kedua model pesantren tersebut, yaitu materi tentang moderasi beragama. Sebab, menyebarkan konsep moderasi beragama merupakan upaya dari Kementerian Agama membumikan moderasi beragama bagi semua lapisan masyarakat. Sebagaimana termaktub dalam buku moderasi beragama yang diterbitkan oleh Balitbang Kementerian Agama RI tahun 2019 bahwa paling tidak ada 3 alasan umat muslim Indonesia, khususnya santri perlu untuk mengetahui dan memahami moderasi beragama.

Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Kasus yang terjadi terkait menjaga martabat manusia adalah kasus bom bunuh diri. Demi alasan mengatasi kemaksiatan, beberapa kelompok melakukan pembunuhan masal dengan bom bunuh diri. Ini terjadi akibat sesat pikiran, radikal dan ekstrem. Kasus yang lain, terjadi di dunia pendidikan, yaitu kasus bulliying. Kasus ini sangat banyak terjadi baik di pesantren maupun di sekolah SMA/SMK/MA. Sungguh bullying ini juga termasuk merendahkan martabat manusia. Bulliying yang dilakukan kepada korban dapat merusak santri dan peserta didik secara fisik dan psikis. Secara fisik, kasus bulliying bisa membuat korban mengalami sakit, bahkan cacat akibat kekerasan. Secara psikis, dapat merusak korban mengalami gangguan mental, pelanggaran moral karena perlawanan dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain karena trauma. Untuk itu, menurut hemat penulis salah satu strategi menjaga martabat manusia dan mengatasi kasus bulliying adalah dengan mengajarkan materi tentang moderasi beragama bagi santri dan peserta didik.

Kedua, ribuan tahun setelah agama­agama lahir, manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku­suku, berbangsa­bangsa, beraneka warna kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan perlu memoderasi pemahaman beragama. Artinya, santri tidak boleh menutup diri dari perubahan-perubahan yang terjadi, melainkan bersikap terbuka. Dengan sikap terbuka dapat mengurangi kesalahfahaman atas tafsir-tafsir agama dan dapat meminimalisir konflik-konflik karena perbedaan pemahaman tafsir agama. Terlebih, di Indonesia yang memiliki ragam aliran, madzhab dan organisasi keagamaan. Justru keragaman inilah menjadi pemersatu, bukan sebagai saingan apalagi musuh. Untuk itu, sudah sepantasnya Kiai dan ustadz di pesantren memahami terlebih dahulu apa itu moderasi beragama. Sehingga, mereka tidak kesulitan mengajarkan moderasi beragama dan bersikap moderat, baik di lingkungan keluarga, pesantren dan masyarakat.

Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Moderasi beragama sebagai strategi kebudayaan dimasukkan dalam muatan materi dan kurikulum di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Sehingga, moderasi beragama dapat dijadikan sebagai cara pandang untuk kehidupan beragama yang harmonis.

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah