Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Wanita dan Bekerja


Penulis: Ida Royani, M.Hum
Dosen Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

Fenomena sekarang telah menunjukkan bahwa wanita berkecimpung di dunia pekerjaan, baik mereka yang berasal dari keluarga ekonomi rendah sampai yang tertinggi, semua terjun ikut serta dalam memberikan partisipasi untuk bekerja bersama-sama dengan kaum lelaki. Sejatinya, ada banyak bahaya dan malapetaka yang akan terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat dengan masuknya para wanita di lingkungan bekerja. Berikut ini beberapa ulasan diskusi sederhana tentang bagaimana realitas petaka yang terjadi jika wanita pergi ke luar rumah untuk bekerja. Fakta yang begitu sering tidak terpikirkan dan sampai-sampai mengejutkan kita yang telah menyadarinya. Hal ini telah diulas secara komprehensif oleh Prof. Dr. Sayyid Muhammad Al Maliki dalam bukunya yang berjudul Adab Al Islam fii Nidham al Usrah dengan judul terjemahan, Etika Islam dalam Membina Rumah Tangga.

 

1.        Longgarnya tata nilai

Hal ini merupakan kenyataan yang harus diterima saat ini, dimana banyaknya pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang datang dan pergi, silih berganti baik di dalam maupun luar ruangan, baik dalam kota maupun luar kota, sampai ke luar negeri. Interaksi yang ditimbulkan tidak akan terelakkan sebab pertemuan keduanya, laki-laki dan wanita sudah menjadi biasa, ditambah lagi dengan pembicaraan soal masalah pekerjaan yang sama-sama digeluti. Sehingga, yang terjadi adalah hilangnya unsur pokok kecantikan wanita, yakni rasa malu dan sikap tertutup. 

 

2.        Ketimpangan sosial dalam Masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat, perginya wanita dari rumah untuk keluar dengan pekerjaannya, mendatangkan berbagai ketimpangan dan keterombang-ambingan. Faktanya, anak-anak akan terhalangi mendapatkan kasih sayang dan kelembutan seorang ibu di dalam rumah. Sungguh sangat menakutkan bila akibat yang terjadi menimbulkan kenakalan anak-anak sampai kepada tercabutnya nilai kasih sayang sesama anggota keluarga.

Belum lagi dari pihak suami, dimana ia akan kehilangan ketenangan jiwa saat kembali ke rumah seraya ingin mendapati senyum yang mengembang dan telinga yang setia untuk mendengarkan keluh kesah dan curahan hati akan kelelahan dalam pekerjaannya, agar si wanita atau istri dapat mendukung dan menguatkannya. Akan tetapi, apa ganti yang didapati suami di rumahnya saat pulang adalah berupa aduan yang lebih berat, kepayahan yang menyusahkan pikiran dan tenaga dari seorang istri yang bekerja, maka bertambahlah penat dan lelah yang suami rasakan. 

 

3.        Tertutupnya peluang kerja bagi para pemuda

Tanpa disadari, wanita yang bekerja telah menduduki posisi yang mungkin bisa diduduki oleh seorang lelaki. Kita lihat bersama, dimana banyak sekali suami-suami ataupun kaula muda yang menjadi pengangguran tanpa pekerjaan yang tetap karena sebab wanita bekerja. Yang menjadi realitas menyedihkan sekarang adalah wanita tersebut tidak kekurangan orang yang bertanggung jawab menafkahinya, dan mereka berserakan dan bersaing di berbagai lapangan pekerjaan. Wanita memenuhinya dan membiarkan para lelaki tidak mendapatkannya, padahal lelaki tersebut mempunyai keluarga yang wajib ditanggungnya. Maka dari itu, akibatnya lelaki yang mempunyai keluarga yang terkena imbasnya, kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi. Ini semua sebab wanita masuk ke dalam usaha mendapatkan pekerjaan itu, dan menyebabkan para lelaki terhalangi untuk memenuhinya.

Juga pemuda yang belum berkeluarga tercegah dari pernikahan karena tidak mempunyai biaya untuk mewujudkan pernikahan dirinya sendiri. Apalagi ditambah dengan susahnya menapaki jenjang pernikahan dan membina rumah tangga tanpa memiliki pekerjaan. Begitulah realitas kehidupan yang membuat kerugian bagi wanita dan laki-laki bersama-sama. Belum lagi wanita akan kehilangan kenikmatan menjalani kehidupan suami istri yang rukun dan tentram sebab sifat tamak dan pelit ini. 

 

4.        Menghambat produktifitas

Dalam dunia manajemen kerja, rekrutmen pekerja harus memikirkan pemenuhan capaian produktifitas dan skill bekerja. Menjadi sorotan kita bersama dimana hal ini akan janggal sebab dipekerjakannya wanita. Ada beberapa hal yang menyebabkannya, yakni fitrah wanita itu sendiri, ia diciptakan sebagaimana ia akan mengalami haid, hamil dan melahirkan.

Wanita tiap bulan rawan terkena haid yang biasanya berlangsung tujuh hari dan terkadang memanjang lebih dari itu. Dalam siklus bulanan ini ia menjadi sasaran rasa sakit, sebagaimana ia juga menanggung derita dari perubahan tabiat tubuh dan beban psikologis. Hal yang menjadikannya tidak mampu mencapai kekuatan dan kemampuannya yang sempurna.

Sesuatu yang lebih besar dari haid adalah masa hamil kemudian melahirkan. Sejak dua bulan akhir masa hamil atau minimal satu bulan terakhir tidaklah boleh membebani wanita dengan pekerjaan apapun yang memayahkannya. Kita mengerti itu semua karena ia berada pada kondisi yang lebih berat dari sekedar rasa sakit. Emosinya terombang-ambing dan kemampuan berfikir serta menalar menjadi lemah padanya.

Setelah melahirkan, luka-luka pada wanita menjadi sasaran infeksi, yang menjadikan luka tersebut siap terjangkiti berbagai macam penyakit. Organ reproduksinya bergerak terus menerus agar kembali kepada keadaannya yang normal seperti sebelum melahirkan. Demikianlah kondisi wanita saat hamil dan melahirkan maka seorang wanita sangat mirip dengan orang sakit selama berbulan-bulan yang wajib dibebaskan dari pekerjaan.

Adakah termasuk mendukung dan merupakan kebaikan ekonomi, mengosongkan wanita dari tugasnya yang vital dan terbesar? Agar dia keluar rumah sebagai pekerja yang bunting dan menjadi sasaran ketimpangan dalam perjalanan pekerjaannya. Pada tiap bulan dan tiap dua atau tiga tahun, untuk selanjutnya mengosongkan perkerjaan selama waktu yang panjang tersebut tersebab hamil dan melahirkan? Sungguh ironis, jika keadaan fitrah golongan wanita ini tidak menjadikan prioritas penyeleksian pekerja.

Bukannya tidak ada wanita yang bekerja yang sukses dan berhasil menjadi tokoh besar dalam sejarah kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang jauh lebih dominan mempengaruhi tatanan hidup sosial masyarakat tersebab keluarnya wanita untuk bekerja. Bukankah wanita dalam sejarah Islam masyhur dengan ilmu, keutamaan, syair, pengajaran dan periwayatan dengan jumlah yang sangat banyak? Seorang Ulama, Syauqi Rahimaullah berkata:

Ini adalah Rasulullah, beliau tidak mengurangi hak-hak kaum wanita yang beriman

Ilmu adalah syariat bagi umat wanita beliau yang mencari pengetahuan

Mereka dilatih perdagangan dan politik serta soal-soal akhirat

Sungguh umat wanita beliau telah tahu gelombang ilmu yang begitu luas meluber

Tersebutlah Sukainah yang memenuhi dan menggoncangkan dunia dengan para perawi darinya

Dia meriwayatkan hadits dan tafsir ayat-ayat Alquran yang membawa penjelasan

Dan peradaban Islam berbicara akan kedudukan para wanita muslimat

Baghdad adalah rumah para wanita nan cendikia dan tempat para sastrawati

Lalu Damaskus di bawah kekuasaan Bani Umayyah, adalah pusat wanita-wanita pandai

Kemudian pertamanan Andalusia menumbuhkan wanita-wanita yang bersenandung dan para penyair

Lantas, apabila seorang wanita mencari ilmu, maka yang layak dan lebih patut baginya adalah belajar agama dan hukumnya, cara mengatur rumah dan dasar-dasar pendidikan serta hal-hal yang tidak lepas darinya untuk kesehatan tubuh, ibadah dan cara bermuamalah sehingga ia paham akan hubungannya, wanita dengan keluar rumah dan bekerja.

Wallohu A’lam.

 

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah