Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Budaya Lokal Yang Mengasyikkan Warga di Tanah Leluhur Sumatera Tenggara

Budaya Lokal Yang Mengasyikkan Warga di Tanah Leluhur Sumatera Tenggara: Sebuah Studi Fenomenologis 



Penulis: Prof. Dr. Syafnan Lubis, M.Pd
Guru Besar pada Fakultass Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, UIN Syahada Padangsisimpuan

 

Sumatera Utara adalah sebuah Provinsi di Indonesia yang memiliki beraneka ragam etnik, seperti Masyarakat Batak Toba, Masyarakat Angkola, Masyarakat Mandailing, Masyarakat Melayu Pesisir. Masing-masing etnik memiliki bermacam kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda pula, baik dibidang Adat istiadat.

Salah satu dari hasil kebudayaan yang menonjol dari tiap daerah adalah musik dan tari. Musik sudah ada sejak manusia mengenal peradaban. Setiap budaya di dunia ini memiliki musik yang khusus diperdengarkan atau dimainkan berdasarkan peristiwa peristiwa bersejarah dalam perjalanan hidup setiap anggota masyarakat. Musik juga merupakan pendukung utama untuk melengkapi dan menyempurnakan beragam bentuk kesenian dalam berbagai budaya.

Pada kelompok masyarakat tertentu secara tradisional, musik berperan sebagai medium dalam melaksanakan ritual tertentu baik yang bersifat religi, adat istiadat, maupun hiburan. Tari telah mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Sejak zaman dulu mayoritas masyarakat menganut paham Animisme dan Dinamisme, sehingga dalam melakukan ritual pemujaan kepada Para Dewa yang jadi sembahan masyarakat jaman dahulu.

Tari sebagai sarana komunikasi dengan Para Dewa yang disembah, tidak hanya sebagai media penghubung kepada dewa. Tari juga digunakan masyarakat apabila masyarakat sedang merayakan adanya panen, adanya Pesta, atau acara syukuran karena kebahagian yang sudah melekat pada kehidupan masing masing.

Beberapa budaya yang mengasyikkan masyarakat itu akan dipaparkan dalam tulisan berikt ini setelah melalui Riset fenomenologis, dan juga mewawancarai dan mengobservasi kegiatan kegiatan yang berlangsung, dan terakhir meminta validasi dari Para Tokoh yang memiliki Otoritas secara keilmuan.

A.      Tradisi Masyarakat Batak

Beberapa adat dan budaya Batak yang berlaku adalah : Beberapa adat dan budaya Batak yang berlaku adalah: 1). Partuturan (Tutur Sapa) Dalam kehidupan orang Batak sehari-hari kekerabatan (partuturan) adalah kunci dari falsafah hidupnya dengan menanyakan marga dari setiap orang Batak yang ditemuinya. Kekerabatan yang menjadi semacam tonggak agung untuk mempersatukan hubungan darah dan menentukan sikap terhadap orang lain dengan baik. Di dalam partuturan diberikan dalam suatu lambang yang memeliharakan tatanan terbaik bagi masyarakat Batak dalam konsep kekerabatan yang ditata dalam bentuk dalam Dalihan Na Tolu, yang merupakan lambang sistem sosial Batak yang mempunyai tiga tiang penopang, yaitu, Hula-hula, dongan tubu, dan boru.

2). Umpasa (Pantun) Umpasa merupakan kata-kata yang diucapkan seperti menyerupai pantun dalam bahasa Batak yang memiliki makna. Umpasa penting diucapkan untuk menyampaikan keinginan/harapan dalam setiap acara adat yang dilaksanakan. Apabila umpasa yang disebutkanjuga menjadi harapan dari para hadirin, maka secara serentak akan mengatakan“ima tutu” yang artinya “semoga demikian”.

3). Mangulosi Mangulosi artinya adalah memberikan ulos sebagai lambang kehangatan dan berkat bagi yang menerimanya. Dalam hal Mangulosi ada aturan yang harus ditaati yakni: hanya orang yang dituakan yang dapat memberikan ulos. Misal: orang tua mangulosi anaknya, tetapi seorang anak tidak bisa mangulosi orangtuanya. Mangulosi sering kita temukan pada saat-saat pesta antara lain: Ketika anak lahir, bayi akan menerima “Ulos Parompa”, ini berfungsi sebagai tanda ucapan syukur atas dikaruniakannya seorang anak bagi orangtuanya. Pada saat anak laki-laki melaksanakan pesta pernikahan, dia akan menerima “Ulos Hela” dari mertuanya,atau si anak laki laki menerima ulos dari orang tua si anak perempuan.  Disaat ada yang meninggal dunia, orang yang meniggal tersebut akan menerima “Ulos Saput” atau ulos sebagai tanda perpisahan bagi keluarga dengan orang yang meninggal tersebut. 

4). Manortor (Menari) Manortor adalah melakukan tarian seremonial yang disajikan dengan musik Gondang. Tortor adalah seni tari Batak pada zaman dahulu dan merupakan sarana utama dalam melakukan ritual keagamaan yang masih bernafaskan mistik (kesurupan). Manortor kerap dijumpai pada acara pesta-pesta adat orang Batak dengan membunyikan musik Gondang Sabangunan (dengan perangkat musikyang lengkap) yang pada zaman dahulu erat dengan pemujaan kepada Dewa-Dewa atau roh-roh nenek moyang. Tortor dan musik gondang adalah tidak terpisahkan. 

5). Mangalat Horbo (Kurban Kerbau) Mangalahat Horbo merupakan upacara adat bagi orang Batak sebagai pertanda penyucian diri atau menebus dosa-dosa, sehingga akan didapat kemakmuran dalam kehidupannya. Acara Mangalahat Horbo ini dilatar belakangi kepercayaan suku Batak kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Sang pencipta alam semesta) yang mampu menghapus dosa dan memberi kemakmuran dengan mengurbankan seekor kerbau jantan yang diikatkan pada borotan (sebuah tiang di tengah upacara yang dihias berbagai jenis daun-daun pilihan). 

6). Mangokkal holi (Pengangkatan Tulang Belulang) Mangongkal holi merupakan suatu prosesi upacara yang dilaksanakan untuk mengumpulkan tulang belulang dari jasad orang tua yang dimasukkan ke peti yang baru 5 untuk dipindahkan pada suatu tempat yang lebih tinggi yang telah disediakan oleh pihak keluarga. Tradisi ini merupakan warisan turun-temurun yang bertujuan memberikan penghormatan kepada roh orang tua yang telah tiada. Pemindahan lokasi tulang belulang dimaksud ke tempat yang baru adalah untuk mendapatkan tempat yang lebih baik dari tempat sebelumnya.

B. Tradisi Masyarakat Angkola

1. SIRIAON Siriaon dari segi bahasa artinya adalah sukaria, pesta, kegembiraan dan lain-lain. Sedangkan dari segi istilah adat masyarakat Batak Angkola ialah suatu acara yang berkaitan dengan rasa kegembiraan, rasa kesenangan, rasa kemenangan, kesukariaan dan yang semakna dengan ketiganya.

Sebagai contoh pesta perkawinan, pesta masuk rumah baru, pesta memberikan nama anak yang baru lahir dan lain-lain. Beberapa kegiatan yang termasuk siriaon, maka urutannya adalah: a. Pabagas anak Pesta pabagas anak atau boru maksudnya dalam masyarakat adat Batak Angkola adalah merupakan kegiatan untuk mengawinkan anak, baik laki-laki maupun anak perempuan, dan merupakan kegiatan yang paling besar dalam kegiatan adat Batak Angkola.

Untuk mengukur besar kecilnya kegiatan adat tergantung dari apa yang disembelih pada waktu dilaksankannya pesta tersebut. Kemudian pesta anak aki-laki atau boru juga terdiri dari tiga tingkatan: 1. Horja Godang. Langkah-langkah untuk kegiatan tersebut meliputi:  Tahi ungut-ungut. Tahi artinya musyawarah, sedangkan ungut-ungut artinya bisik-bisik. Tahi ungut-ungut disebut musyawarah ini hanya antara kedua orangtua calon pengantin laki-laki. Keduanya membaca antara adanya keinginan untuk membesarkan kedatangan parumaen di satu sisi, sementara di sisi lain menganalisa atau mencoba mengoreksi kemampuan mengeluarkan biaya-biaya untuk melaksanakan pesta, khususnya horja godang yang akan memakan biaya yang sangat besar.

Tahi ulu tot. Tahi ulu tot ini dilaksanakan setelah kedua orangtua setuju untuk memestakan anaknya yang kawin tersebut dengan horja godang, sehingga dengan demikian rencana tersebut harus disampaikan kepada keluarga yang lebih luas dari satu rumah tangga. Untuk musyawarah ini adalah orang yang secara langsung masih memiliki hubungan darah, yaitu: Amang tua, Uda, Namboru.  Tahi sakahanggi. Tahi sakahanggi ini pesertanya lebih luas, yaitu mereka yang satu nenek dari pihak ayah, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah berumah tangga, sehingga peserta musyawarah terdiri dari: Kahanggi, Anak boru.

Tahi luat. Tahi luat ialah sebagai kelanjutan dari tahi sahuta, kalau sekiranya dalam tahi sahuta secara bulat menerima dan menyanggupi permintaan dan harapan suhut sihabolonan untuk melaksanakan horja gondang.

2. Horja Sadari. Horja di daerah adat Batak Angkola ditentukan oleh hewan apa yang disembelih untuk pelaksanaan pesta tersebut, dan sesuai dengan ketentuan adat apabila kerbau yang disembelih maka kegiatan pestanya hanya berlangsung satu hari saja tanpa malam harinya. Inilah yang disebut dengan pesta satu hari (horja sadari). Dalam pesta satu hari ini ada dua macam bentuknya: a. Acara diiringi gondang dan tortor. Horja sadari (pesta satu hari) yang menggunakan gondang / tortor. 1 Baumi, Surat tumbang holing, “Suhut Kahanggi” (Padang Sidimpuan, 1984), hlm. 79-81 7 2. SILULUTON Siluluton maksudnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan kemalangan, seperti kematian, membangun kuburan, memindahkan kuburan. Khusus dalam hal kematian, adat Batak Angkola memiliki banyak macam ragamnya, di antaranya: a. Membunyikan tawak-tawak, ogung dan tabuh, guna memberitahukan ke desa-desa sekitar, ada yang meninggal. b. Memotong kerbau (longa tinuktung). Pemotongan kerbau ini apabila yang meninggal itu ketika berumah tangga dulu sudah dipestakan secara adat. Karenanya ketika meninggal, juga harus diberangkatkan secara adat. c. Mendirikan payung godang berwarna kuning di depan rumah, ditambah dua tombak, dua podang dan meriam, dengan posisi berdirinya condong ke rumah duka. d. Saat-saat mayat dibawak ke kuburan harus diletakkan di atas roto (roppayan), semacam meja yang bertiang empat setinggi 0,50 cm. e. Tulan riccan. Tulan riccan adalah paha kerbau yang disembelih secara khusus karena kematian tersebut, dan yang meniggal itu orang tua, kemudian diserahkan secara adat (kahanggi, anak boru dan mora) kepada mora, sebagai penjelasan bahwa anak borunya sudah meninggal, sehingga iboto-nya sudah menjanda.

C. Tradisi Masyarakat Mandailing

a. Marsialapari Marsialapari menurut istilah adalah suatu kegiatan tolong menolong dan gotong-royong yang dilakukan masyarakat mandailing secara sukarela dengan rasa gembira dan berharap ketika kita pergi menolong/membantu saudara kita yang membutuhkan maka kita juga dapat bantuan yang sama disaat kita membutuhkan, biasanya dilakukan disawah atau kebun. jadi Marsialapari adalah kegiatan menolong orang lain secara bersama-sama dengan rasa gembira dengan harapan orang lain tersebut menolong kita diwaktu lain ketika kita membutuhkan.

Jumlah harinya juga dihitung berapa hari kita kesawah si A maka si A juga akan datang kesawah kita dengan jumlah hari yang sama. Seiring berjalannya waktu dan orang Indonesia biasanya 8 melakukan penyederhanaan ucapan, maka marsialap ari berubah kata menjadi satu kata yang dapat diucapkan dengan sederhana menjadi Marsalapari. Marsalapari adalah konsep tolong menolong yang saling menguntungkan. Marsalapari dilakukan semua kelompok umur baik yang tua maupun yang muda (naposo-nauli bulung), saat menanam padi (manyuan eme) misalnya bisa mengajak enam hingga sepuluh orang baik teman atau keluarga, baik yang muda ataupun yang tua Marsalapari kesawah kita (tusabanta).

Dalam satu hari bisa selesai menanam (manyuan), karena bekerja bersama, saling mengejar hasil kerja (marsikojarkojaran toap), saat menanam (manyuan) juga bisa bercerita (mangecek), dengan teman yang lain, saling menyahut antara satu dengan yang lain, biasanya cerita yang paling menarik itu cerita mudamudi (naposo–nauli bulung), atau cerita ibu-ibu yang hadir pada saat itu tentang masa lalu saat saat indah kehidupannya.

2. Mangalehen Mangan Mangelehen mangan merupakan merupakan tradisi upa-upa (mendoakan halhal yang baik) kepada anak perempuan yang akan menikah. 

3. Mangupa Mangupa sama halnya dengan mangelehen mangan, hanya saja tradisi lisan ini dilakukan kepada anak laki-laki. Selain untuk menikah, mangupa juga dilakukan saat si anak selamat dari bencana, meraih prestasi dan lain-lain. 

4. Maronang-onang Maronang-onang merupakan nyanyian pengantar tarian tor-tor remaja dan pemuda. Tradisi ini juga sudah jarang ditemukan. 

5. Markobar 2 Dedi Zulkarnain Pulungan, Budaya “Marsialap Ari” (Refleksi Pembentukan Karakter Masyarakat Mandailing), hlm, 351-353 9 Markobar merupakan tradisi lisan yang digunakan di acara-acara pernikahan dan lainya, biasanya para tokoh-tokoh adat dan kampung akan berbicara di dalam satu tempat.

D. Tradisi Masyarakat Pesisir

Salah satu dari sekian banyak upacara ritual masyarakat Melayu Serdang adalah ritual upacara Jamuan Laut yang merupakan salah satu jenis upacara tolak bala. Upacara ritual Jamuan Laut dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada para penunggu laut (jimbalang) yang memang telah dikenal dekat oleh masyarakat Melayu.

Upacara Jamuan Laut ini berasal dari masyarakat Melayu lama yang terus hidup dan eksis sesuai dengan perkembangan kepercayaan masyarakat Melayu itu sendiri. Kepercayaan atau upacara ini mempunyai asal yang sama dengan asal nenek moyang bangsa-bangsa di Nusantara yakni dari Asia Belakang Indo-China yang datang sekitar ratusan tahun yang lalu.

Upacara Jamuan Laut diselenggarakan oleh kaum nelayan yang mendiami daerah pesisir di tepi pantai sekurangkurangnya 3 kali dalam setahun. Upacara ini dilakukan jika dirasa laut sudah berkurang menghasilkan ikan seperti biasanya, atau ketika banyak nelayan yang mengalami kecelakaan di laut sewaktu mencari ikan. Oleh karena itu, dibuatlah upacara jamuan laut dengan memanggil pawang laut untuk memimpin upacara tersebut.

Pawang laut adalah orang yang diyakini mempunyai kekuatan magic dan mampu menguasai jin atau roh jahat yang berdiam di laut. Orang yang dipanggil sebagai pawang laut berperan penting dalam kehidupan nelayan. Pawang laut menjadi tumpuan kaum nelayan untuk berkomunikasi dengan roh-roh gaib menguasai samudera. Kaum nelayan percaya bahwa makhluk halus itu akan murka jika ada yang melanggar pantangan. Komunitas nelayan masyarakat Melayu Sumatera Timur (Serdang) meyakini bahwa gangguan makhluk halus laut hanya dapat diselesaikan oleh pawang laut. Kaum nelayan mempercayai bahwa seluruh lautan dikuasai oleh makhluk halus, yakni jin atau roh jahat yang disebut sebagai Mambang Laut.

Menurut kepercayaan masyarakat lokal, Mambang Laut terbagi atas 8 penguasa yang bersemayam di 8 penjuru mata angin. Masing-masing penguasa laut itu dikenal dengan nama: Mayang Mengurai, Laksamana, Mambang Tali Arus, Nambang Jeruju, Katimanah, Panglima Merah, Datuk Panglima Hitam, dan Babu Rahman. Empat dari kedelapan jin laut tersebut merupakan pemimpin dariseluruh jin yang ada di laut, yakni Datuk Panglima Hitam (penguasa 10 bagian utara), Mambang Kali Arus (penguasa bagian selatan), Mayang Mengurai (penguasa bagian timur), dan Katimanah (penguasa sebelah barat).

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa pada masyarkat nelayan. pola adaptasi menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan social disekitarnya. Bagi masyarakat yang bekerja di tengah-tengah lautan, lingkungan fisik yang sangatlah mengandung bahaya. Dalam banyak hal bekerja di lingkungan laut sarat dengan resiko. Karena pekerjaan nelayan adalah memburu kan. Hasilnya tidak dapat ditentukan kepastianya (risk and uncertaincy). Karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk di eksploitasi (open accces) (James Acheson, 1981). Menghadapi kondisiseperti ini masyarakat nelayan cenderu mengembangkan pola-pola adaptasi yang berbeda dan sering kali tidak dipahami oleh masyarakat di luar komunitasnya untuk menghadapi akibat banyaknya resiko dan kehidupan yang serba tidak menentu. Dalam banyak hal masyarakat nelayan mempunyai komunitas tersendiri yang diakibatkan oleh polapola sosialnya yang terasing dengan pola-pola sosial masyarakat daratan. 3 Bappenas. Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Daerah. (Laporan Pilot Project Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. 1999). 11 A. 

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keragaman dari budaya, suku bangsa, agama, hingga aliran-aliran kepercayaan. Semua keberagaman tersebut tumbuh di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang akhirnya membentuk masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang plural. Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.

Keanekaragaman kebudayaan Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dari keanekaragam tersebut menghasilkan banyak jenis kebudayaan dan tradisi yang dimiliki masyarakat Indonesia. Kebudayaan dan tradisi tidak bisa lepas dari masyarakat Indonesia karena mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial, religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan astistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. 

Demikianlah yang dapat penulis paparkan tentang materi “Tradisi Sumatra Utara”. Saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini, baik itu dari segi isi, kerapian pada penulisan dan lainlain. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya. Semogama dari makalah yang saya paparkan diatas bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Daerah.( Laporan Pilot Project Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat pesisir.1999)

Baumi, Surat tumbang holing, “Suhut Kahanggi” (Padang Sidimpuan, 1984),

Dedi Zulkarnain Pulungan, Budaya “Marsialap Ari” (Refleksi Pembentukan Karakter Masyarakat Mandailing).

 

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah