Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus dan Implikasinya Dalam Pembelajaran: Implementasi Proses Pembelajaran

Foto ilustrasi: Anak-anak berkebutuhan khusus secara fisik. Sumber: Internet.

Penulis: Prof. Dr. Drs. Syafnan, M.Pd
Guru Besar Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan 

Bagian 2

Implementasi  Proses Pembelajaran

Di Indonesia, perkembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dua warsa terakhir. Dengan lahirnya  Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pendidikan luar biasa tidak saja diselenggrakan secar inklusif di sekolah reguler pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.\

Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah:
1. Regular Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2. Regular Class with consulation (Kelas biasa dengan konsultan guru SLB)
3. Itinerant Teacher  (Kelas biasa dengan guru kunjung)
4. Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa         
       kesempatan anak berada di ruang    sumber dengan guru sumber.
5. Pusat Diagnostik-Prescriptif
6. Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak     
   berada di ruang sumber    dengan guru sumber)
7. Self-contained Class (Kelas khusus disekolah biasa bersama guru PLB)
8. Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9. Residential School (Sekolah luar biasa berasrama).

 Jadi, bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian besar, yaitu:

1.         Pendidikan Segregasi

Sistem layanan pendidikan segregasi adalah pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan dilakasanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggarakan pendidikan untuk anak normal.

Ada empat bentuk penyelengaarakan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:

a.        Sekolah Luar Biasa

Sekolah luar biasa (SLB) saat ini berkembang sesuai dengan kelainan yang dimiliki anak, yaitu SLB untuk Tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Penyelenggaraan pendidikan di SLB tersebut dilakukan secara terpadu dalam satu unit sekolah, mulai dari tingkat persiapan sampai kepada tingkat lanjut.

b.        Sekolah Luar Biasa Ber-asrama

Sekolah luar biasa berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama, sehingga terdapat kesinambungan program pembelajaran di sekolah dan di asrama.

c.         Kelas Jauh/Kelas Kunjung

Kelas Jauh/Kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SLDB. Penyelenggarakan kelas ini merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.

d.        Sekolah Dasar Luar Biasa

Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapi tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapi, psikolog, spech therapis, dan audiolog.

2.         Pendidikan Terpadu / Intelegensi / Inklusi

Bentuk layanan pendidikan terpadu/intelegensi/inklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.

Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas  maksimal 10% dari jumlah keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan.

Untuk mebantu kesulitan yang dialami oleh nak berkebutuhan khusus, si sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK), GPK dapat berfungsi sebagai konsultas bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri, Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.

Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (2008). Ketiga bentuk tersebut adalah:

a.         Bentuk Kelas Biasa

Dalam bentuk keterpaduan ini akan berkebutuhan khusus belajar dikelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.

b.        Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus

Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

c.         Bentuk kelas Khusus

Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebur juga keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun, apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.

Prinsip Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Musjamak Assjari (1995), beberapa prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang perlu diperhatikan adalah:

1.        Keseluruhan Anak (all the children)

Layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada pemberian kesempatan bagi seluuh anak berkebutuhan khusus dari berbagai derajat ragam dan bentuk kecacatan yang ada. Dengan layanan pendidikan diharapkan anak dapat mengembangkan potensi anak yag dimilikinya seoptimal mungkin sehinga ia dapat mencapai hidup bahagia sesuai dengan kecacatannya.

Untuk itu, guru dituntut untuk lebih kreatif, dengan menerapkan berbagai pendekatan pembelajaram yang sesuai bagi anak. Pendekatan tersebut disesuaikan dengan keunikan dan karakteristik dari masing-masing kecacatan.

2.        Kenyataan (reality)

Pengungkapan tentang kemampuan fisik dan psikologis pada masing-masing anak berkebutuhan khusus mutlak dilakukan. Hal ini penting, mengingat melalui tahapan tersebut pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan rehabilitasi dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak berkebutuhan khusus.

3.        Program yang dinamis (adynamic program)

Pendidikan dikatakan dinamis karena yang menjadi subyek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang, yang didalamnya terdapat proses yang bergradai, berkesinambungan untuk mencapai sarana pendidikan. Dinamika dalam proses pendidikan seperti karena subyeknya selalu berkembang dan adanya perkembangan ilmu pengetahuan, kedua kenyataan ini menuntut guru untuk mengkaji teori-teori yang berkembang setiap saat.

4.        Kesempatan yang sama (equality of opportunity)

Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya tanpa mempriorotaskan jenis-jenis kecacatan yang dialaminya. Titik perhatian perkembangan yang utama pada anak berkebutuhan khusus adalah optimalisasi potensi yang dimiliki masing-masing anak melauli jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan menurut penyelenggara pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi kecacatannya.

5.        Kerjasama (cooperative)

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan mengembangkan potensi mereka manakala tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait. Beberapa pihak yang terkait adalah orang tua, selain itu pihak yang terkait Dokter, Psikolog, Psikhiater, Pekerja sosial, Ahli terapi okupasi, dan Ahli Fisioterapi, Konselor, dan Tokoh Masyarakay yang mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan.

Selain kelima prinsip tersebut, ada prinsip lain yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, yaitu:

1.        Prinsip kasih sayang

Sebagai manusia, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang dan bukan belas kasihan. Kasih sayang yang dimaksdukan merupakan eujud penghargaan bahwa sebagai manusia mereka memiliki kebutuhan tuntu diterima dalam kelompok dan diakui bahwa mereka adalah sama seperti anak-anak yang lain. Untuk itu, guru seharusnya mampu menggantikan kedudukan orang tua untuk memberikan perasaan kasih sayang kepada anak. Wujud pemberian kasih sayang dapat berupa sapaan, pemberian tugas sesuai dengan kemampuan anak, menghargai dan mengakui keberadaan anak.

2.        Prinsip keperangaan

Anak berkebutuhan khusus ada yang memiliki kecerdasan jauh dibawah rata-rata, akibatnya mereka mengalami kesulitan dalam menangkap informasi, keterbatasan daya tangkap yang konkret, mengalami kesulitan dalam menangkap hal-hal yang abstrak. Untuk itu, guru dalam membelajarkan anak hendaknya menggunakan alat alat peraga yang memadai agak anak terbantu dalam menangkap pesan. Alat peraga hendaknya disesuikan dengan bahan, suasana, dan perkembangan anak.

3.        Keterpaduan dan keserasian

Dalam proses pembelajaran, ranah kognisi sering memperoleh sentuhan yang lebih banyak, sementara ranah afreksi dan psikomotor kadang terlupakan. Akibat yang terjadi dalam proses pembelajaran seperti ini terjadi kepincangan dan ketidakutuhan dalam memperoleh makna dari apa yang dipelajari. Untuk itu, guru seyogyanya menciptakan media yang tepat untuk mengembangkan ketiga aspek/ranah tersebut.

4.        Pengembangan minat dan bakat

Proses pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus pada dasarnya mengembangkan minat dan bakat mereka. Minat dan bakat masing-masing subyek didik berbeda, baik dalam kuntitas maupun kualitasnya. Tugas guru dan orang tua adalah mengembangkan minat dan bakat yang terdapat pada diri anak masing-masing. Hal ini dilakukan karena, minat dan bakat seseornag dapat memberikan sumbangan dalam pencapain keberhasilan. Oleh karena itu, proses pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus hendaknya didasarkan pada minat dan bakat mereka miliki.

5.        Kemampuan anak

Heterogenitas mewarnai kelas-kelas pendidikan pada anak berkebutuhan khusus, akibatnya masing-masing subjek didik perlu memperoleh perhatian dan layanan yang sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud meliputi keunggulan-keunggulan apa yang ada pada diri anak, dan juga aspek kelemahan-kelemahannya. Proses pendidikan yang berdasar pada kemampuan anak akan lebih terarah ketimbang yang berdasar bukan pada kemampuan anak,seperti keinginan orangtua atau tuntutan paket kurikulum. Orangtua memang memiliki anaknya, tetapi seringkali terjadi orangtua kurang dan tidak mengetahui kemampuan anaknya. Oleh karena itu, sebelum dan selama proses pendidikan orangtua perlu disertakan dalam prose pendidikan anaknya, sehingga kemampuan dan perkembangannya tuntutan kurikulum terhadap heterognitas kemampuan masing-masing subjek didik.

6.        Model

Guru merupakan model bagi subjek didiknya. Perilaku guru akan ditiru oleh anak didiknya. Oleh karena itu, guru perlu merancang secermat mungkin pembelajaran agar model yang ditampilkannya oleh guru dapat ditiru oleh anaknya.

Di sekolah, anak-anak lebih percaya pada guru-gurunya daripada orangtuanya. Hal ini terhadi karena anak telah pindah dari lingkungan keluarga ke lingkungan baru, yaitu sekolah. Kepercayaan anak terhadap orang-orang yang ada di sekolah perlu dimanfaatkan dalam proses pendidikan. Pemanfaatan tersebut berupa pemberian contoh atau model yang secara sadar atau tidak sadar membentuk pribadi dan perilaku subjek didik Karena guru menjadi pusat perhatian model anak, maka penataan dirinya perlu didahulukan, mulai dari cara berpakain, bertutur kata, berdiri dikelas atau diluar kelas.

7.        Pembiasaan

Penamaan pembiasan pada anak normal lebih mudah bila dibarengi dengan informasi pendukungnya. Hal ini tidak mudah bagi anak berkebutuhan khusus. Pembiasaan bagi anak berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang lebih konkret dan berulang-ulag. Hal ini dilakukan karena keterbatasan indera yang dimiliki anak berkebutuhan khusus dan proses berpikirnya yang kadang lambat. Untuk itu, pembiasan pada anak berkebutuhan khusus harus dilakukan secara berulang-ulang dan diiringi dengan contoh yang konkret.

8.        Latihan

Latihan merupakan cara yang sering ditempuh dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Latihan sering dilakukan bersamaan dengan pembentukan pembiasaan. Porsi latihan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pemahaman akan kemampuan anak dalam memberikan latihan pada diri subjek didik akan membantu penguasaan keterampilan yang telah dirancangkan lebih dahulu. Latihan yang diberikan tidak melebihi kemampuan anak, sehingga anak senang melakukan kegiatan yang telah diprogramkan oleh pengelola pendidikan.

9.        Pengulangan

Karakteristik umun anak berkebutuhan khusus adalah mudal lupa. Oleh karenak itu, pengulangan dalam memberikan informasi perlu memperoleh perhatian tersendiri. Pengulangan diperlukan untuk memperjelas informasi dan kegiatan yang harus dilakukan anak. Meskipun hal ini sering menjemukan, tetapi kenytaan mereka memerlukan demi penguasaan suatu informasi yang utuh.

10.    Penguatan

Penguatan atau reinforcement merupakan tuntunan untuk membentuk perilaku pada anak. Pemberian penguatan yang tepat berupa pujian, atau penghargaan yang lain terhadap munculnya perilaku yang dikehendaki pada anak akan membantu terbentuknya perilaku. Pujian yang diberikan padanya akan memiliki arti tersendiri dalam pencapain usaha keberhasilan. Secara psikologis akan memberikan penghargaan pada diri subjek didik, bahwa dirinya mampu berbuat. Penghargaan ini akan memberikan motivasi pada diri mereka. Bila ini terjadi, anak akan berusaha untuk menampilkan prestasi lain.

 

REFERENSI

Conny Semiawan. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo

Depdiknas. 2008. Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini Yang Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,

Hallahan, DP & Kauffman, JK. 1991. Exceptional Children, Introduction to Spesial Education, 4th edition.New Jersey:Prentice-Hall.Inc.

Mangunsong, Frieda. 1998. “Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa”. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah