Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Rekonstruksi Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Antara Tradisi, Hukum Islam dan Hukum Positif

Ilustrasi INT

Putri Maya Sari Tanjung 
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan


Hukum keluarga Islam merupakan sarana untuk menyelesaikan berbagai masalah, keberadaan hukum keluarga mendapat respon positif yaitu inti dari prinsip syariah. Hal ini bukan bertujuan untuk memberikan contoh bagi umat muslim supaya dapat menjalani kehidupan berkeluarga dan bisa digunakan, namun eksistensi hukum pada konsensus ini sebagai solutif. Artinya, hukum Islam dapat memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan rumah tangga yang sedang terjadi. Meskipun hukum sudah ada, tetapi belum dapat diterapkan atau dipahami tentang manfaat dan filsafatnya, hal ini berdampak pada anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam hal menyelesaikan kasus-kasus perdata keluarga Islam.

Di Indonesia, upaya untuk melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam telah muncul sejak 1960-an. Sebagaimana akhirnya lahir atau terbentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara historis, sebelum aturan tentang perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur berdasarkan hukum adat dan hukum Islam. Diketahui, pada masa Menteri Agama, Munawir Syadzali upaya pembaharuan hukum keluarga ditandai dengan terbentuknya atau lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) bertepatan pada 10 Juni 1991. Materi yang termuat dalam KHI yaitu mencakup tentang aturan perkawinan, hukum waris dan wakaf yang ditujukan bagi umat muslim. Kehadiran Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ternyata sudah merasa nyaman. Sehingga, KHI seolah tidak dapat lagi diperbaharui. Menariknya, historitas sejarah mencatat bahwa perlu adanya evolusi hukum terutama berkenaan dengan aspek hukum keluarga Islam.

Perkembangan Hukum Keluarga

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam, tetapi sistem pemerintahan tidak menyatakan diri sebagai negara Islam. Namun, sebagai negara yang notabene mengakui otoritas agama dalam membangun karakter suatu bangsa. Selain itu, Indonesia mengadopsi hukum-hukum agama sebagai rujukan atas legislasi nasional, selain hukum adat dan hukum barat. Oleh karena itu, seolah hukum Islam yang notabene sistem hukum di dunia ini menjadi lenyap di permukaan kecuali hukum keluarga Islam. Hukum keluarga Islam di Indonesia berupaya untuk merumuskannya selain mengacu terhadap kitab-kitab fikih klasik, fikih modern, himpunan fatwa, keputusan Pengadilan Agama (yurisprudensi), dan wawancara bagi seluruh ulama Indonesia.

Meskipun hukum Barat sekuler tidak secara langsung dibuktikan namun di Indonesia sudah berjalan cukup panjang dan lama yaitu hukum perdata (Burgelijk Wetbook) yang dipahami sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum acara perdata warisan Belanda, dan hukum lainnya. Sebagaimana asas konkordasi, bahwa adanya pengaruh hukum Barat tidak bisa dinafikan seperti itu saja. Seperti bidang pencatatan dalam perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan lainnya. Dengan demikian, rekonsiliasi hukum keluarga Islam diperlukan agar sesuai dengan perkembangan kondisi atau zaman untuk menciptakan ketertiban masyarakat yaitu salah satu bukti konkret. Selain itu, konstruksi hukum keluarga Islam akan mampu bersifat adaptif dalam pembaharuan atau transformasi rumah tangga dari berbagai aspek dan segala konsekuensi hukumnya.

Rekonstruksi Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Antara Tradisi, Hukum Islam dan Hukum Positif

Rekonstruksi hukum keluarga Islam di Indonesia merupakan isu atau pembahasan yang seringkali mencuat di publik. Upaya modernisasi hukum keluarga melibatkan berbagai aspek, seperti tradisi, pemahaman hukum Islam dan hukum positif yang diakui oleh warga negara Indonesia. Pada bagian ini, akan dibahas tentang aspek tradisi atau adat kebiasaan. Tradisi yang dikenal dalam hukum keluarga Islam adalah dipengaruhi dari adat istiadat atau local wisdom. Sebab, Indonesia memiliki keberagaman budaya, dimana setiap daerah mempunyai suatu kebiasaan yang unik dalam hal perkawinan, kewarisan, dan lainnya. Kebiasaan ini seringkali bercampur dengan nilai-nilai Islam yang notabene dibawa oleh para pendahulu sejarah Indonesia. Salah satu contoh nyata, adat perkawinan di Jawa meskipun sesuai dengan prinsip Islam tetapi masih mempertahankan banyak tradisi atau local wisdom.

Hukum keluarga Islam pada prinsipnya berlandaskan al-Qur’an, Hadis dan fikih Islam. Sedangkan Indonesia, pemberlakuan hukum keluarga Islam telah ditegaskan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, yang mencakup tentang perkawinan, talak, rujuk, nafkah, warisan, dan wasiat. KHI merupakan upaya untuk menyatukan berbagai pandangan mazhab dalam Islam yang ada di Indonesia, terutama mazhab Syafi'i yang dominan. Sementara hukum positif, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Aturan perkawinan Islam yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-undang ini menjadi rujukan warga negara Indonesia dalam menjalani rumah tangga khususnya yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Peraturan ini menekankan bahwa setiap permasalahan yang berkaitan dengan hukum keluarga Islam, maka untuk mengadili perkara-perkara tersebut seperti perceraian, warisan dan perwalian diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan dari UU Perkawinan yang membahas tentang prosedur perkawinan dan perceraian.

Dengan demikian, rekonstruksi hukum keluarga Islam di Indonesia diperlukan untuk melakukan penyesuaian atau pembaharuan hukum yang notabene mengikuti perkembangan zaman yang relevan, kebutuhan masyarakat, dan mewujudkan nilai-nilai keadilan. Namun, terdapat kendala atau tantangan dalam melakukan rekonstruksi hukum keluarga. Untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, bahwa nilai-nilai kearifan lokal harus dihormati sekalian memastikan hukum keluarga agar tidak ketinggalan zaman. Pembaharuan hukum keluarga, perlu memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi semua pihak terutama perempuan dan anak-anak, semestinya hukum diharmonisasikan.

Meski demikian, berdasar pada aspek di atas, maka perlu adanya berbagai pendekatan dan hal yang melingkupi hukum keluarga dari berbagai pengembangan yang baru. Salah satu wujud dari pembahasan pembangunan hukum keluarga dari pandangan hukum keluarga antara syariah dan hukum positif tersebut berupa banyak hal terutama dalam rekonstruksi pembangunan hukum keluarga Islam yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Rekonstruksi hukum keluarga diperlukan, dengan melibatkan berbagai elemen. Seperti para akademisi muslim yang notabene mempunyai basis pengetahuan hukum tentang hukum keluarga dalam perspektif Islam. Adanya keterlibatan akademisi tersebut menjadi pertimbangan utama sebagai kontrol bagi putusan hukum secara adil dan ideal sehingga masih bisa diterapkan dengan baik untuk semua warga Indonesia beragama Islam.

Adapun tantangan yang dihadapi dalam merekonstruksi hukum keluarga Islam adalah ketidakselarasan antara hukum Islam dan Hukum Positif. Idealnya, hukum Islam kerab berbenturan dengan hukum positif atau hukum nasional yang sifatnya sekuler. Seperti aturan tentang poligami, dalam hukum Islam tidak sepenuhnya sejalan dengan UU Perkawinan.  Oleh karena itu, diperlukan adanya pendekatan kontekstual dan progresifitas hukum. Melalui pengembangan hukum keluarga yang kontekstual yaitu mempertimbangkan keadaan dan kondisi masyarakat sekarang. Pendekatan yang relevan dan tetap berpegang teguh pada prinsip dasar Islam, namun fleksibel terhadap perubahan zaman bila diperlukan.

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah