Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Sejarah dan Urgensi Moderasi Beragama

Pahri Siregar, M.Pd.I

Penulis: Pahri Siregar, M.Pd.I
*Dosen Tetap pada Program Studi Bimbingan Konseling Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan
*Penulis merupakan mahasiswa Doktor (S3) pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.


Secara historis, istilah moderasi beragama sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw hijrah ke kota Madinah pada tahun 1 Hijriah atau 622M
(Dzikrullah Faza et al., 2024).  Moderasi beragama tidak hanya merupakan konsep modern, tetapi telah menjadi bagian dari praktik Islam yang diimplementasikan Nabi Muhammad untuk membangun harmoni dan keadilan di antara beragam komunitas yang tinggal di Madinah pada masa itu. Ada beberapa peristiwa kunci yang menunjukkan prinsip moderasi beragama dalam praktik Nabi Muhammad di Madinah, yaitu menyatukan kaum Muhajirin dan Ansor. Nabi Muhammad secara strategis menyatukan pendatang dari Makkah (Muhajirin) dengan penduduk asli Madinah (Ansor). Hal ini tidak hanya menguatkan persatuan di antara umat Muslim, tetapi juga menunjukkan sikap inklusif Nabi Muhammad terhadap beragam latar belakang sosial dan etnis (Azhar, 2017).

Setelah menyatukan kaum Muhajirin dan Ansor, Nabi kemudian membuat sebuah konstitusi bernama Piagam Madinah. Dengan adanya piagam Madinah ini telah lahir masyarakat baru di Madinah. Perlbagai suku yang awalnya berperang dilebur menjadi satu kesatuan antara komunitas Muslim dan komunitas nonMuslim didasarkan dengan prinsip bertetangga baik, saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama tanpa adanya diskriminasi apa pun. Semua warga menjadi sederajat di dalam negara Madinah (Vachruddin, 2021). Piagam Madinah adalah perjanjian yang dibuat oleh Nabi Muhammad antara suku-suku Arab, Muslim, Yahudi, dan Nasrani di Madinah. Piagam ini menegaskan kesetaraan hak dan kewajiban di antara semua penduduk kota Madinah, tanpa memandang perbedaan suku, agama, atau latar belakang lainnya. Hal ini merupakan landasan hukum pertama yang mengatur kehidupan beragama dan sosial di bawah pemerintahan Islam. Prinsip moderasi beragama dalam konteks ini mencakup penerimaan terhadap perbedaan. Nabi Muhammad menunjukkan toleransi terhadap keberagaman agama dan latar belakang etnis. Lahir keadilan sosial yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban untuk semua penduduk, yang menggambarkan semangat inklusif dan egaliter dalam pembentukan masyarakat Madinah. Pada akhirnya lahir kesepakatan dan harmoni. Piagam Madinah mengatur hubungan antara umat Islam dengan umat Yahudi dan Nasrani, menekankan pentingnya kerjasama dan perdamaian di antara komunitas berbeda (Azhar, 2017; Vachruddin, 2021).

Berikut adalah beberapa nilai-nilai isi Piagam Madinah yang utama: Pertama, Piagam Madinah menegaskan pentingnya kesepakatan dan kesatuan di antara berbagai suku dan komunitas yang tinggal di Madinah. Dokumen ini mengatur hubungan antara Muslim dan non-Muslim, serta antara suku-suku Arab dan Yahudi, dengan tujuan menciptakan kerukunan dan stabilitas di dalam masyarakat Madinah. Kedua, keadilan dan kesetaraan. Dokumen ini menegaskan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum. Semua warga Madinah, baik Muslim maupun non-Muslim, diperlakukan secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa pandang bulu terhadap suku, agama, atau latar belakang mereka (Mohd Fadzli et al., 2022; Zayyadi, 2015).

Ketiga, perlindungan hak-hak. Piagam Madinah melindungi hak-hak individu dan kelompok, termasuk hak-hak minoritas. Dokumen ini menjamin kebebasan beragama, keamanan pribadi, serta hak untuk mempertahankan diri dan berdagang, sehingga semua warga Madinah merasa aman dan dihormati. Keempat, kerjasama dan kesejahteraan. Piagam Madinah mendorong kerjasama antara berbagai suku dan komunitas untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan harmonis. Dokumen ini menekankan pentingnya saling mendukung dan bekerja sama dalam memajukan kepentingan bersama, serta memerangi kejahatan dan ancaman dari luar. Kelima, penyelesaian sengketa. Piagam Madinah menyediakan kerangka kerja untuk penyelesaian sengketa antara berbagai pihak. Dokumen ini menetapkan prosedur hukum yang adil dan transparan untuk menyelesaikan perselisihan, dengan tujuan menjaga kedamaian dan keadilan di dalam masyarakat.

Keenam, pertahanan bersama. Piagam Madinah menetapkan kewajiban untuk pertahanan bersama terhadap ancaman dari luar, baik dalam bentuk serangan militer maupun serangan lainnya. Dokumen ini menegaskan pentingnya solidaritas dan persatuan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Madinah. Nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam Madinah mencerminkan semangat inklusifitas, keadilan, dan kerjasama yang menjadi landasan bagi masyarakat Madinah yang baru bersatu di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Dokumen ini menjadi contoh penting tentang bagaimana Islam mengadvokasi nilai-nilai universal yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera (Azhar, 2017; Dzikrullah Faza et al., 2024; Mohd Fadzli et al., 2022; Zayyadi, 2015).

Perjalanan kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah terbukti mampu memberikan kesejukan hidup berdampingan bagi semua masyarakat yang ada di Madinah maupun yang ada disekitarnya (Hamka et al., 2022). Dengan demikian, moderasi beragama dalam Islam tidak hanya menjadi strategi pemerintah modern, tetapi juga merupakan nilai-nilai yang telah ditekankan oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai bagian integral dari ajaran Islam sejak awal periode kehidupan Islam di Madinah. Isu moderasi beragama menjadi perbincangan penting di tingkat nasional maupun internasional, seperti yang disorot oleh beberapa penelitian dan publikasi. Konsep moderasi beragama atau Islam moderat sering kali dikampanyekan oleh berbagai kalangan, termasuk para tokoh agama dan masyarakat(Saifudin, 2019). Pada tahun 2015, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga dengan tegas mendukung kampanye untuk mempromosikan Islam moderat guna membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.

Peran moderasi beragama sebagai konsep untuk menjaga kedamaian, toleransi, dan keberagaman dalam masyarakat memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks sosial dan politik, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara lainnya. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga-lembaga agama dan pemerintah, diharapkan bahwa upaya untuk mewujudkan moderasi beragama ini dapat terus ditingkatkan dan diimplementasikan secara luas (Hamka et al., 2022; Nginwanun et al., 2023)

Pentingnya kesadaran akan keberagaman dalam suatu bangsa sebagai sebuah kekuatan besar untuk pembangunan nasional. Di Indonesia, keberagaman budaya dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat menjadi modal utama dalam upaya pembangunan bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa memahami, menghargai, dan memanfaatkan keberagaman tersebut dapat memperkuat kesatuan dan kemajuan bangsa secara keseluruhan. Moderasi beragama adalah sebuah konsep yang semakin ditekankan dalam kegiatan sosial-keagamaan di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Konsep ini memiliki akar dalam upaya untuk mengurangi potensi konflik antar-agama dan mempromosikan toleransi serta kerukunan antar umat beragama (Aulia & Arifin, 2023).

Di Indonesia, pendekatan ini telah diadopsi sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah penerbitan Surat Edaran Dirjen Pendis pada Oktober 2019, yang mendorong pendirian Rumah Moderasi Beragama di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Rumah Moderasi Beragama diharapkan menjadi tempat untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi, memberikan pendidikan, pendampingan, serta memperkuat gerakan moderasi beragama di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Proyek ini terutama dikembangkan pada masa kepemimpinan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di bawah arahan Presiden Joko Widodo. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dialog antar-agama, menghormati keragaman kepercayaan, dan menghindari polarisasi keagamaan yang dapat mengancam keharmonisan sosial di Indonesia (Arhanuddin Salim, 2023; Aulia & Arifin, 2023; Sumarto, 2021).

Urgensi moderasi beragama adalah untuk mencapai perdamaian, kesejahteraan dalam semua aspek kehidupan manusia. Keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Persamaan dan perbedaan merupakan tujuan moderasi beragama. Menurut Kementerian Agama, ada tiga alasan perlu moderasi beragama: Pertama, Moderasi beragama bukan hanya tentang menjaga keseimbangan antara kehidupan rohani dan dunia materi, tetapi juga tentang memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia selalu diutamakan. Agama-agama mengajarkan nilai-nilai universal seperti perdamaian, keadilan, dan penghargaan terhadap kehidupan. Ketika praktik beragama menjadi ekstrem, seringkali nilai-nilai ini terabaikan atau bahkan dilanggar demi tujuan yang tampaknya lebih besar. Ekstremisme agama dapat mengarah pada tindakan destruktif seperti kekerasan atau diskriminasi yang bertentangan dengan esensi ajaran agama yang sebenarnya (Hasan, 2021; Saifudin, 2019).

Moderasi beragama mengajarkan untuk tidak terjebak dalam fanatisme yang membenarkan perlakuan tidak manusiawi atas nama agama. Hal ini juga mengingatkan bahwa pengabdian kepada Tuhan seharusnya tidak mengorbankan martabat dan kemanusiaan sesama manusia. Dengan mempraktikkan moderasi beragama, kita dapat menghindari eksploitasi agama untuk tujuan politik, kepentingan pribadi, atau untuk membenarkan perilaku yang tidak etis. Oleh karena itu, penting untuk terus mempromosikan pendekatan moderasi dalam beragama sebagai jalan untuk menjaga esensi dan nilai-nilai inti agama, sambil memastikan bahwa agama benar-benar berfungsi sebagai sumber kedamaian, harmoni, dan penghargaan terhadap kehidupan manusia Kedua, Pernyataan tersebut menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh agama-agama dalam konteks modern, di mana kompleksitas kehidupan manusia semakin bertambah seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia di seluruh dunia (Ihsan, 2023).

Hal ini juga mencerminkan perubahan dalam cara manusia memahami dan menginterpretasikan teks-teks agama, yang kadang-kadang mengarah pada berbagai penafsiran yang beragam dan bahkan bertentangan. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada satu agama atau wilayah tertentu, tetapi tersebar luas di berbagai belahan dunia. Akibatnya, terkadang agama digunakan atau diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan politik atau ideologis tertentu, yang dapat memperburuk konflik antar-kelompok. Pentingnya moderasi dalam praktik beragama sangat ditekankan dalam konteks ini. Moderasi beragama mengacu pada pendekatan yang mempromosikan pemahaman yang lebih luas, inklusif, dan toleran terhadap perbedaan dalam keyakinan dan praktik keagamaan. Tujuannya adalah untuk mencegah polarisasi dan konflik yang mungkin timbul akibat interpretasi yang sempit atau ekstrem dari ajaran agama. Dengan mengedepankan moderasi beragama, diharapkan manusia dapat hidup berdampingan secara damai meskipun berbeda keyakinan, sehingga peradaban manusia dapat terus berkembang harmonis tanpa terpengaruh oleh konflik berlatar agama yang tidak produktif (Saifudin, 2019).

Ketiga, Pendekatan moderasi beragama di Indonesia memegang peranan krusial dalam memelihara keindonesiaan, terutama dalam konteks negara yang heterogen seperti Indonesia. Di negara ini, Pancasila telah menjadi pijakan utama yang mengintegrasikan berbagai kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Meskipun Indonesia bukan negara agama, nilai-nilai agama tetap dihormati dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, sambil menjaga kearifan lokal dan adat-istiadat. Moderasi beragama diimplementasikan sebagai strategi untuk menghindari potensi konflik agama yang sering muncul di masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Pendekatan ini tidak hanya memungkinkan koeksistensi yang harmonis antara berbagai komunitas keagamaan, tetapi juga mempromosikan perdamaian dan keselarasan di semua lini kehidupan, baik itu pribadi, keluarga, maupun masyarakat secara luas (Saifudin, 2019; Sumarto, 2021).

Jadi, urgensi moderasi beragama menurut penulis adalah sebuah upaya mencegah pemahaman yang sesat, beragama sesuai petunjuk alquran dan hadits, menjunjung tinggi kemanusiaan dan kebangsaan, serta memahami dan mengamalkan moderasi beragama diharapkan menjadi seorang muslim yang kaffah, dan moderat.

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah