Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Sertifikasi Da’i, Sebuah Perbandingan antara Indonesia dan Malaysia


Penulis:
Dr. Icol Dianto, S.Sos.I, M.Kom.I
 
Dosen Tetap pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

Menarik tema diskusi yang angkat oleh Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan dalam kegiatan kuliah dosen tamu dan diskusi mahasiswa yang diselenggarakan pada Sabtu, 13/7/2024.

Menjadi sorotan saya adalah terkait dengan komparasi pelaksanaan dakwah di Indonesia dan Malaysia. Makalah ini dipresentasikan oleh Misbahu Rahmah, mahasiswa Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. “Ada plus-minus pelaksanaan dakwah yang kami temukan di dua negara ini, jika dakwah di Malaysia tidak semua orang boleh berdakwah, mereka harus memiliki sertifikasi pendakwah, dan kaderisasi dakwah yang dilakukan melalui organisasi,” demikian ujar Misbahu Rahmah melaporkan temuan riset mereka.

Kondisi tersebut berbeda dengan yang ada di Indonesia. Sempat mencuat tentang sertifikasi pendakwah ini, Kementerian Agama RI mengeluarkan sejumlah nama yang dianggap lulus sertifikasi da’i. Namun, kebijakan sertifikasi dai muncul di saat kebangkitan politik muslim sipil dan kebutuhan umat untuk pembimbingan kehidupan berbangsa dan bernegara yang anti-diskriminatif, sehingga penolakan sertifikasi da’i bergulir dari akademisi hingga praktisi.

Indonesia memang berbeda dengan Malaysia. Indonesia memiliki Penyuluh Agama yang tugas pokoknya sama dengan da’i. Penyuluh Agama dimiliki oleh seluruh Agama yang resmi dan diakui di Indonesia. Dalam hal Dakwah Islam, kita memiliki yang namanya Penyuluh Agama Islam. Mereka ini ada yang PNS dan ada yang PPPK serta honor (sukarela). Sertifikasi hanya layak diberikan kepada mereka para penyuluh agama karena Penyuluh Agama memiliki jenjang karier jabatan dan kepangkatan yang jelas diatur peraturan yang berlaku di Indonesia. Sebagai akibat dari sertifikasi itu, mereka mendapatkan imbalan kesejahteraan yang sesuai.

Profesor Azyumardi Azra tidak sependapat bahwa sertifikasi dai ditujukan untuk membatasi ruang gerak para pendakwah dalam menyebarluaskan agama, namun jika sertifikasi ditujukan untuk meningkatkan kapasitas atau meningkatkan kompetensi diri dari para dai, maka Azra sangat setuju (lihat Icol Dianto, Integrasi Ilmu Dakwah dengan Social Work, Disertasi, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2022).

Indonesia negara muslim terbesar dunia dan wilayahnya luas. Jumlah masjid dan mushala sangat banyak. Pada satu desa saja, terkadang bisa mencapai dua masjid, satu masjid raya dan satunya lagi masjid jami’. Dua masjid saja tidak cukup, biasanya berdampingan pula satu, dua, bahkan tiga mushala. Jika hanya yang bersertifikasi saja yang bisa berdakwah, maka ada beberapa konsekuensi, yaitu terjadi kekosongan pendakwah. Dengan begitu bisa saja masjid tidak punya pendakwah mereka sehingga aktivitas pengajian agama tidak bisa dilaksanakan.

Seperti laporan Misbahu Rahmah, pada suatu waktu narasumber yang diwawancarai Rahma, orang Indonesia, mengikuti jum’atan di Malaysia. Kebetulan da’i yang akan khotbah tidak datang. Maka, orang Indonesia tadi langsung naik mimbar menggantikan khotib jumat yang tidak datang. Alhamdulillah, penyelenggaraan sholat jumat berjalan lancar dan sukses. Namun, polisi Malaysia mendatangi kediaman orang Indonesia tadi, dan memberikan surat peringatan bahwa pakcik Indonesia itu tidak boleh berkhotbah tanpa izin (maksudnya-sertifikasi dai dari pemerintah Malaysia).

Mendengar penjelasan dari Misbahu Rahmah, peserta kegiatan, Yunus Husein menyimpulkan bahwa di Indonesia dai lebih bebas dan merdeka, sedangkan di Malaysia terhambat, terkekang, dan tidak bebas.

Nah, di sinilah menariknya. Bagi orang Malaysia, mereka tidak merasa terkekang, dan tidak pula terhambat untuk melaksanakan dakwah.  Oleh karena itu, perlu dicarikan bahasa yang tepat untuk mewakili kondisi tersebut. “Saya terima kasih kepada pak Doktor Icol Dianto, yang telah menambah kosa kata dan istilah untuk memaknai itu, Dakwah terkendali atau Dakwah terstruktur,” kata Misbahu Rahmah.

Dalam literatur Ilmu Dakwah, balighu ‘anni walau ayyah menjadi salah satu standar bagi seorang muslim untuk berdakwah. Berdakwah tidak memerlukan kompetensi khusus, cukup dengan hafal satu ayat dari Al-Quran atau satu hadis dari hadis Rasulullah SAW sudah bisa untuk berdakwah. Hal ini senada dengan ungkapan Profesor Salmadanis dalam bukunya Ilmu Dakwah, kata minkum pada QS. Ali-Imran: 104 menunjukkan pada dua kelompok. Yaitu, kelompok pertama memahmi kata minkum sebagai li tabyin (penjelas/penegas) maka dapat dipahami berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim meskipun tidak lulusan Fakultas Dakwah, tidak hafal 30 Juzz Al-Quran dan Kitab Hadis. Kelompok kedua, memahami kata minkum sebagai li tab’idh (menyatakan sebagian) maka dakwah dipahami sebagai kewajiban yang dilakukan oleh orang-orang terpilih yang memiliki keterampilan khusus untuk dakwah, dan memiliki pengetahuan yang mumpuni di bidang agama.

Berdasarkan penjelasan itu, maka dapat kita pahami bahwa di Indonesia sebagian besar berpegang pada kelompok minkum li tabyin sedangkan Malaysia berpegang pada tafsir kata minkum sebagai li tab’idh.

Baiklah, kini saatnya kita kembali ke konteks awal dari tulisan ini, tentang dakwah terkendali. Untuk memperkaya istilah itu, mari kita ikut penjelasan berikut ini:

Istilah Kebebasan Mimbar Dakwah

Indonesia merupakan Negara demokrasi. Perihal demokrasi ini, tidak saja sistem negara yang demokrasi tetapi semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam hal agama. Maka, kondisi berdakwah yang ada di Indonesia dapat dimaknai sebagai kebebasan mimbar dakwah.

Demokrasi Dakwah atau kebebasan mimbar dakwah merujuk pada pendekatan dalam berdakwah yang menghargai kebebasan berpendapat dan partisipasi aktif dari berbagai kalangan umat Islam. Beberapa ciri utama dari kebebasan mimbar dakwah adalah:

  1. Partisipasi Aktif

Semua anggota komunitas diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan dakwah, baik dalam bentuk diskusi, ceramah, maupun kegiatan sosial.

  1. Kebebasan Berpendapat

Setiap orang diberikan ruang untuk menyuarakan pandangan dan pendapat mereka, serta untuk bertanya dan berdialog tentang ajaran agama.

  1. Keterbukaan

Dakwah dilakukan secara terbuka dan transparan, tanpa ada tekanan atau paksaan.

Dakwah Terkendali

Dakwah Terkendali adalah pendekatan dakwah yang lebih terstruktur, satu komandu, dan diawasi untuk memastikan kesesuaian dengan ajaran Islam dan norma-norma yang berlaku. Beberapa ciri utama dari dakwah terkendali, sebagai berikut:

  1. Pengawasan

Kegiatan dakwah diawasi oleh otoritas agama atau tokoh yang berkompeten untuk memastikan bahwa materi dan metode dakwah sesuai dengan ajaran Islam.

  1. Kedisiplinan

Dakwah dilakukan dengan cara yang tertib dan terorganisir, mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

  1. Konten yang Terarah

Materi dakwah difokuskan pada isu-isu yang relevan dan penting, serta disampaikan dengan cara yang efektif dan bertanggung jawab.

  1. Pengendalian Radikalisme

Dakwah diarahkan untuk menghindari dan menanggulangi pandangan atau tindakan yang ekstrem atau radikal.

Menurut hemat penulis, kedua konsep dakwah tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang terbaik dan efektif. Namun, pendekatannya bisa berbeda tergantung pada konteks dan kondisi sosial masyarakat kedua negara.

 

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah