Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Hubungan antara Moderasi Beragama, Multikultural, dan Era Digital

SUMBER: https://www.ngopibareng.id/images/imagecache/20210316121232ilus.JPG

 

Moderasi beragama adalah pendekatan yang menekankan keseimbangan, toleransi, dan inklusivitas, serta menolak ekstremisme (Wiguna & Andari, 2023). Ini mengakui keragaman interpretasi agama dan mendorong dialog serta kerja sama lintas keyakinan. Moderasi beragama terdiri dari tiga dimensi utama: teologis, yang mencakup pemahaman inklusif terhadap teks suci; sosial, yang melibatkan toleransi dan dialog antaragama; dan etis, yang menekankan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan universal. Dalam masyarakat multikultural, moderasi beragama penting untuk mempromosikan kohesi sosial dan harmoni, mencegah konflik, serta mengurangi diskriminasi. Dengan demikian, moderasi beragama membantu agama menjadi kekuatan positif dalam masyarakat yang beragam (Rumahuru & Talupun, 2021).

Secara bahasa, kata "moderasi" berasal dari bahasa Latin "moderatio," yang berarti pengendalian atau keseimbangan. Dalam konteks beragama, moderasi mengacu pada sikap yang menghindari ekstremisme, baik dalam pemikiran maupun tindakan, dan menekankan keseimbangan antara tidak berlebihan (ghuluw) dan tidak meremehkan (tafrith). Yusuf al-Qaradawi, seorang ulama Muslim, menjelaskan moderasi beragama (wasatiyyah) sebagai jalan tengah yang menghindari ekstremisme dan kebebasan tanpa batas, dengan menafsirkan ajaran agama secara kontekstual dan realistis (Ali, 2023). M. Quraish Shihab, ahli tafsir Al-Qur'an, menggambarkan moderasi sebagai sikap adil dan seimbang dalam menilai atau melakukan sesuatu, sedangkan Azyumardi Azra, sejarawan dan cendekiawan Muslim Indonesia, mendefinisikannya sebagai upaya menjaga keseimbangan dalam kehidupan keagamaan dengan pemahaman yang inklusif dan toleran. Kamaruddin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, menekankan bahwa moderasi beragama adalah sikap tengah yang mencerminkan ajaran Islam tentang keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), dan keadilan (adl), dengan tujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan (Saputra & Azmi, 2022).

Konsep moderasi beragama dalam Islam memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW (Ahmad Muhammad, 2023). Moderasi beragama, atau *wasatiyyah* dalam bahasa Arab, merujuk pada sikap yang seimbang, adil, dan tidak ekstrem dalam beragama, menekankan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, baik spiritual maupun sosial. Dalam Al-Qur'an, moderasi beragama diperkenalkan melalui beberapa ayat yang mendorong umat Islam untuk tidak berlebihan dalam praktik keagamaan dan kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah Surah Al-Baqarah ayat 143, yang menunjukkan bahwa umat Islam diharapkan menjadi umat yang seimbang (*wasat*), menjaga keseimbangan dalam beribadah dan interaksi sosial, serta menghindari sikap ekstrem baik dalam kebebasan maupun kekakuan (Lubis, 2024).

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan pentingnya moderasi dalam beragama. Salah satu hadis yang relevan, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, mengingatkan umat Islam untuk tidak memberatkan diri dalam beragama dan bersikap moderat serta realistis dalam ibadah (Nur & Lubis, 2015). Hadis lainnya menyebutkan bahwa agama harus dijalankan dengan kebijaksanaan dan keseimbangan. Konsep moderasi beragama dalam Islam mencakup penghindaran fanatisme dan ekstremisme, serta mendorong dialog dan koeksistensi damai dengan orang-orang dari keyakinan lain. Ajaran ini penting untuk menjaga harmoni dalam komunitas Muslim dan dalam interaksi dengan komunitas global yang pluralistik (M, 2008).

Kabupaten Padang Lawas merupakan contoh nyata dari keberagaman budaya dan etnis di Indonesia. Daerah ini didiami oleh berbagai kelompok etnis, termasuk Batak Mandailing, Batak Angkola, Jawa, Minangkabau, Aceh, Melayu, dan Madura (Mufid, 2012). Keberagaman ini bukan hanya hasil dari perpindahan alami populasi, tetapi juga akibat dari program transmigrasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia pada era Soeharto, yang bertujuan untuk redistribusi populasi dan sumber daya di seluruh nusantara. Akibatnya, Padang Lawas menjadi tempat bertemunya berbagai tradisi, adat istiadat, bahasa, dan praktik keagamaan (Salda, 2018).

Dinamika sosial dan budaya dalam masyarakat yang beragam seperti di Padang Lawas sangat kompleks (Harahap & Siregar, 2020). Di satu sisi, keberagaman ini memperkaya budaya lokal, menciptakan lingkungan yang kaya dengan tradisi dan praktik yang beragam. Namun, di sisi lain, perbedaan ini juga bisa menjadi sumber ketegangan dan konflik, terutama jika tidak ada upaya untuk mempromosikan dialog dan saling pengertian. Misalnya, perbedaan dalam cara beribadah, adat pernikahan, atau tata cara dalam upacara kematian dapat menjadi titik gesekan jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan pendekatan inklusif yang menghormati semua budaya dan agama, dan mendorong interaksi yang harmonis di antara berbagai kelompok etnis (Vera Dwi Apriliani & Acep, 2023).

Sumber daya etnis dan budaya yang ada di Kabupaten Padang Lawas, dapat dijelaskan, yaitu: Pertama, Batak Mandailing dan Batak Angkola. Suku Batak Mandailing dan Batak Angkola merupakan penduduk asli yang dominan di Padang Lawas. Mereka memiliki budaya yang kaya, termasuk tradisi adat, seni musik, dan tari, serta bahasa yang khas (Setyawan, 2005). Dalam kehidupan sehari-hari, adat istiadat dan nilai-nilai budaya Batak sering terlihat dalam upacara pernikahan, ritual kematian, dan perayaan hari besar lainnya. Kedua, Masyarakat Pendatang: Jawa, Minangkabau, Aceh, Melayu, dan Madura. Masyarakat Jawa merupakan salah satu kelompok pendatang terbesar di Padang Lawas, berkat program transmigrasi yang membawa mereka ke wilayah ini . Kehadiran suku Jawa memperkaya budaya lokal dengan tradisi Jawa, seperti gamelan, wayang, dan tarian tradisional. Suku Minangkabau juga cukup signifikan, dikenal dengan tradisi merantau dan sistem matrilineal. Mereka membawa serta kuliner khas seperti rendang dan budaya perdagangan. Suku Aceh, Melayu, dan Madura juga memberikan kontribusi pada keberagaman budaya di daerah ini, masing-masing dengan adat istiadat dan tradisi unik mereka. Ketiga, pengaruh program transmigrasi. Program transmigrasi pada masa pemerintahan Soeharto tidak hanya bertujuan untuk redistribusi penduduk, tetapi juga mempromosikan integrasi sosial dan budaya (Purwanto, 2019). Akibatnya, Padang Lawas menjadi melting pot yang mencerminkan keragaman budaya Indonesia. Meskipun terdapat tantangan dalam hal integrasi sosial, terutama dalam menghadapi perbedaan adat dan nilai, keberagaman ini juga memberikan kekayaan budaya yang berharga dan potensi untuk meningkatkan pemahaman lintas budaya di kalangan masyarakat (Peter & Simatupang, 2022).

Keragaman etnis dan budaya ini membawa dinamika sosial yang kompleks, di mana perbedaan adat istiadat dan kepercayaan dapat menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, pendidikan moderasi beragama sangat penting untuk mempromosikan toleransi dan harmoni di antara komunitas yang beragam ini (Hermansyah, 2024).

Era digital, dengan kehadiran internet dan media sosial, telah mengubah cara orang berinteraksi dan mengonsumsi informasi, termasuk dalam konteks keagamaan. Media sosial dan platform digital lainnya kini menjadi saluran penting untuk penyebaran informasi keagamaan, mulai dari ceramah dan tafsir hingga diskusi tentang isu-isu keagamaan kontemporer (Nurina Hakim & Alyu Raj, 2017). Akses yang lebih mudah ini dapat memperluas wawasan dan pemahaman seseorang tentang agamanya sendiri dan agama lain, serta memungkinkan dialog lintas agama yang lebih terbuka yang dapat memperkuat moderasi beragama. Namun, era digital juga membawa tantangan besar, terutama terkait dengan penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan. Propaganda ekstremis dapat dengan mudah menyebar melalui internet, mempengaruhi individu untuk mengambil sikap yang lebih keras atau intoleran. Fenomena "echo chambers" di media sosial juga dapat memperkuat polarisasi dan menghambat dialog antar kelompok yang berbeda (Dwiyanti et al., 2023).

Di sisi lain, era digital menawarkan peluang besar untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama. Organisasi keagamaan dan tokoh agama dapat memanfaatkan platform digital untuk mempromosikan pesan-pesan perdamaian, toleransi, dan kerjasama antaragama melalui konten digital seperti video edukatif, blog, dan podcast (Mubarok & Sunarto, 2024). Program literasi digital juga dapat membantu masyarakat menyaring informasi secara online dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Dalam kesimpulannya, moderasi beragama adalah kunci untuk menjaga harmoni sosial di masyarakat multikultural. Penelitian, pendidikan mendalam, dan upaya bersama dari semua pihak dapat memastikan bahwa agama tetap menjadi kekuatan untuk kebaikan dan perdamaian di era digital ini (Bahrudin, 2024).

Salah satu dampak positif dari media sosial adalah peningkatan aksesibilitas informasi keagamaan. Platform seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan Instagram memungkinkan individu untuk dengan mudah mengakses ceramah, tafsir Al-Qur'an, dan konten keagamaan lainnya. Hal ini mempermudah umat beragama untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam tentang agama mereka sendiri dan agama lain. Misalnya, sarjana Muslim dapat menyebarkan pemahaman moderat tentang Islam melalui media sosial, membantu melawan narasi ekstremis yang sering disebarkan oleh kelompok radikal. Dalam konteks ini, media sosial dapat berfungsi sebagai alat pendidikan yang penting, memfasilitasi pemahaman agama yang lebih inklusif dan terbuka (Dwistia et al., 2022).

Namun, ada juga dampak negatif yang signifikan. Media sosial dapat memperburuk proliferasi informasi yang salah atau menyesatkan, dengan memungkinkan siapa saja untuk menyebarkan pemahaman yang dangkal atau salah tentang ajaran agama. Ini sering kali mengarah pada penyebaran ide-ide ekstremis dan fanatik, yang dikemas dalam format menarik dan mudah diakses (Sihotang et al., 2023). Selain itu, media sosial cenderung menciptakan "echo chambers," di mana individu hanya terpapar pada pandangan serupa dan jarang berinteraksi dengan pandangan alternatif. Hal ini dapat memperburuk polarisasi sosial dan menghambat dialog antaragama. Fenomena "digital religion" juga memengaruhi cara umat beragama beribadah, dengan meningkatkan akses namun mungkin mengurangi kedalaman pengalaman keagamaan. Oleh karena itu, literasi digital dan pemahaman kritis sangat penting dalam menavigasi dunia keagamaan di era digital ini (Cynthia & Sihotang, 2023).

Penyebaran nilai moderasi beragama menghadapi berbagai tantangan dan peluang di era modern ini. Tantangan utama termasuk keberadaan ekstremisme dan radikalisme, yang sering menarik bagi individu yang merasa teralienasi atau mengalami krisis identitas. Ideologi ekstremis menawarkan jawaban sederhana untuk masalah kompleks dan seringkali menafsirkan narasi keagamaan secara sempit, merusak citra agama, dan mempersempit ruang dialog. Selain itu, misinformasi dan disinformasi yang menyebar melalui media sosial dan internet dapat mengaburkan pemahaman tentang moderasi beragama. Algoritma media sosial yang memperkuat echo chambers membuat individu hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri, menghambat dialog lintas keyakinan dan memperkuat sikap intoleran (Gliselda Aurelia & Ema Jumiati, 2023).

Namun, terdapat peluang signifikan untuk menyebarkan nilai moderasi beragama. Peningkatan aksesibilitas informasi melalui internet dan media sosial memungkinkan penyebaran pesan-pesan moderat dan pendidikan agama yang inklusif, serta promosi dialog antaragama. Generasi muda, yang semakin bergantung pada teknologi, cenderung lebih terbuka terhadap keberagaman dan mendukung pesan inklusif. Selain itu, gerakan global untuk promosi toleransi dan inklusivitas, serta penggunaan media massa tradisional dan digital untuk menampilkan narasi moderat, menawarkan kesempatan untuk menginspirasi pemirsa dan memerangi stereotip negatif. Dengan strategi inovatif dan inklusif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, pesan moderasi beragama dapat mencapai audiens yang lebih luas dan efektif (Manar, 2019).

 

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah