Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Konsep Kesejahteraan Sosial Islam

Foto Ilustrasi: Manusia Bahagia

 

Pandangan Islam mengenai kebahagiaan memang memiliki perbedaan mendasar dengan konsep kebahagiaan yang tumbuh dari pemikiran Barat, khususnya dalam hal kesejahteraan sosial. Dalam Islam, kebahagiaan sejati terletak pada ridha Allah Swt., bukan hanya pada hal-hal materi. Kebahagiaan tersebut menyangkut keselamatan di dunia dan akhirat, dan tidak bisa diukur dengan harta benda, status sosial, atau penghasilan. Sebaliknya, kebahagiaan adalah perasaan batin yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalaminya, serta erat kaitannya dengan ketenangan jiwa, ketakwaan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta.

Sementara itu, pandangan Barat yang cenderung materialistis seringkali menilai kesejahteraan berdasarkan aspek-aspek yang terlihat, seperti kekayaan atau status ekonomi. Ukuran seperti penghasilan atau kepemilikan aset sering dijadikan tolak ukur kebahagiaan dan kesejahteraan individu. Hal ini berbeda dari Islam, yang menekankan bahwa kebahagiaan hakiki tidak bisa dicapai hanya dengan kepemilikan duniawi, melainkan dengan keseimbangan spiritual, moral, dan hubungan yang baik dengan Allah Swt.

Akhirat menjadi fokus utama dalam Islam, di mana keuntungan dan kesuksesan di akhirat lebih penting daripada apa yang diperoleh di dunia. Ini memberikan pemahaman bahwa kebahagiaan yang diinginkan bukan hanya bersifat sementara dan fana, tetapi kebahagiaan yang kekal melalui ridha dan rahmat Allah.

QS. Al-Insyiqaq ayat 10-13 menggambarkan sebuah peringatan bagi manusia tentang kebahagiaan yang semu, yang seringkali tampak di dunia tetapi berakhir dengan kesengsaraan di akhirat. Ayat tersebut merujuk kepada orang-orang yang catatannya diberikan dari belakang punggungnya, yang merupakan simbol kehinaan dan penyesalan yang mendalam di Hari Pembalasan. Mereka yang selama hidup di dunia merasa bahagia dan puas dalam lingkungan keluarga, teman-teman, atau masyarakat, tetapi dalam keadaan jauh dari Allah dan hidup dalam kekafiran serta maksiat, akan mendapati bahwa kebahagiaan duniawi mereka tidak membawa kebahagiaan sejati di akhirat.

Mereka mungkin merasa puas dan bahagia karena pencapaian duniawi, materi, atau hubungan sosial, namun ayat ini menekankan bahwa kebahagiaan tersebut tidak bernilai di sisi Allah jika tidak disertai dengan keimanan dan amal saleh. Justru, kebahagiaan yang mereka nikmati di dunia itu menyesatkan mereka dari kebenaran, membuat mereka lalai terhadap tanggung jawab akhirat.

Kebahagiaan sejati menurut Islam tidak hanya terletak pada aspek duniawi, melainkan pada hubungan yang kuat dengan Allah, hidup dalam ketaatan kepada-Nya, dan mempersiapkan kehidupan akhirat. Ayat ini memperingatkan kita agar tidak terlena dengan kebahagiaan yang bersifat material dan sesaat di dunia, terutama jika hal tersebut menjauhkan kita dari Allah dan jalan kebenaran.

Makna mendalam dari ayat tersebut adalah agar kita senantiasa introspeksi dan berhati-hati dalam mencari kebahagiaan, karena kebahagiaan yang sejati hanya bisa dicapai melalui ridha Allah Swt. dan ketaatan kepada-Nya, bukan semata-mata pada kenikmatan dunia yang sementara.

Jadi, konsep kesejahteraan sosial dalam islam adalah Radhiyallahu ‘anhum waradhu ‘anhu. Atau, Nafsul muthma‘innah sebagaimana dalam QS. Al-Fajr: 27-30: Yâ ayyatuhan-nafsul-muthma'innah, irji‘î ilâ rabbiki râdliyatam mardliyyah, fadkhulî fî ‘ibâdî, wadkhulî jannatî. 

 
Ditulis oleh:
Dr. Icol Dianto, S.Sos.I, M.Kom.I
Dosen tetap Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah