QS. Al-Baqarah: 120.
Penulis: Dr. Icol Dianto, S.Sos.I, M.Kom.I
Perang harus dihentikan. Cukuplah kita mengambil pelajaran sejarah masa lampau, perang dunia pertama dan kedua yang membawa kehancuran peradaban manusia. Bagaimana pun hebatnya sistem pertahanan suatu negara, jika sudah diserang secara brutal, ramai-ramai, dan menggunakan teknologi nuklir, maka negara tersebut akan hancur juga. Satu hal, meskipun kita tidak bisa disatukan oleh satu pemerintahan, satu agama dan budaya, namun kita masih bisa hidup berdampingan, adil dan setara.
Padangsidimpuan, 21 Oktober 2024.
------
Konflik yang terjadi antara Israel dan kelompok-kelompok seperti Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, serta konfrontasi Israel dengan Iran menyita perhatian masyarakat global. Setiap orang memiliki sudut pandang berbeda dalam menilai konflik tersebut.
Konflik seperti ini sering kali membawa dampak yang sangat luas, tidak hanya bagi para pejuang tetapi juga bagi masyarakat sipil. Banyak korban yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak, terjebak dalam kekerasan yang berkepanjangan. Situasi seperti ini kompleks, melibatkan banyak aktor dengan kepentingan yang beragam, mulai dari agama, politik, hingga geopolitik. Bagi pihak yang bertikai, perjuangan mereka dianggap sebagai upaya mempertahankan wilayah, martabat, dan keyakinan agama.
Beragam tawaran perdamaian dan penyelesaian konflik telah dilakukan, salah satu adalah gencatan senjata. Namun, gencatan senjata hanyalah solusi jangka pendek. Jauh di balik itu, kedua belah pihak meminta solusi yang adil dan setara. Islam sendiri mengajarkan pentingnya keadilan, belas kasih, dan menghargai nyawa manusia. Jalan menuju penyelesaian konflik sering kali dipandang melalui diplomasi, negosiasi, dan upaya-upaya untuk mencapai keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Dari sisi HAMAS-Palestina, pemicu perang bukan persoalan agama melainkan masalah genosida dan pencaplokan wilayah. Pihak Israel telah mencaplok wilayah Palestina dan mengusir paksa masyarakat sipil palestina di perbatasan. Kemudian, Israel menjadikan sebagai wilayah pendudukan mereka.
Sebagaimana dirilis oleh Kompas, 7 Oktober 2023 lalu, perang Israel-Palestina dimulai dengan sandi operasi Badai Al-Aqsha. Sekitar 5000 roket diluncurkan ke Israel. Komandan Militer Hamas Mohammad Deif mengatakan bahwa serangan ke Israel merupakan bentuk respons atas blokade yang terjadi di Gaza selama 17 tahun.
Dalam negosiasi dengan Qatar, Mesir, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hamas mendorong konsesi Israel yang dapat melonggarkan blokade yang sudah berlangsung lama. Hal ini diyakini dapat membantu menghentikan terjadinya krisis keuangan yang makin parah di Palestina.
Juru Bicara Hamas Khaled Qadomi mengungkapkan alasan Hamas menyerang Israel adalah sebagai bentuk respons atas kekejaman yang telah dirasakan rakyat Palestina beberapa tahun ke belakang.
Namun, banyak pihak menilai bahwa perang Isreal dengan HAMAS lebih pada faktor ketegangan ideologis antara umat Islam dan Yahudi. Salah satu ayat yang sering dirujuk dalam konteks ini adalah Surah Al-Baqarah ayat 120, yang menyatakan bahwa “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka."
Meski ada teks Al-Qur’an seperti itu, namun bukan berarti Islam dengan Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah berdamai. Apa yang dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah, dengan perjanjian atau piagam Madinah, yang pada masa itu, telah mengatur hubungan yang kompleks antara muslim dengan yahudi. Penulis dapat menegaskan bahwa, pemicu perang HAMAS dengan Israel adalah faktor penjajahan dan penjarahan yang dilakukan oleh Israel. Meski dunia mengecam Israel, namun negara Yahudi itu mengklaim mereka hanya mengambil hak mereka.
Hubungan antara umat Muslim dan Yahudi memang mengalami berbagai dinamika. Ada masa-masa di mana hubungan antara keduanya berjalan harmonis, seperti pada masa awal Islam di Madinah di mana Nabi Muhammad menjalin perjanjian dengan suku-suku Yahudi. Namun, konflik juga terjadi ketika ada pengkhianatan terhadap perjanjian tersebut atau ketika kepentingan politik dan wilayah berbenturan.
Ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang membahas tentang hubungan antara umat Islam dan Yahudi tidak selalu berlaku mutlak terhadap setiap individu atau kelompok Yahudi, melainkan sering kali berhubungan dengan konteks tertentu pada masa Rasulullah SAW. Ketegangan yang digambarkan dalam teks-teks agama sering kali disebabkan oleh konflik politik, sosial, atau ekonomi di samping faktor keagamaan.
Dalam konteks modern, konflik antara Israel dan negara-negara Muslim di Timur Tengah, termasuk kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas dan Hizbullah, lebih banyak dipengaruhi oleh isu-isu politik, tanah, dan hak asasi manusia ketimbang semata-mata perbedaan agama. Sebagai contoh, masalah Palestina-Israel terkait dengan perebutan wilayah dan hak kedaulatan, yang telah menjadi akar konflik selama beberapa dekade.
Umat Muslim diajarkan untuk menjaga iman dan identitas mereka, serta tidak tunduk kepada tekanan eksternal yang dapat merusak keyakinan mereka. Namun, dalam menghadapi situasi seperti ini, ada juga ajaran-ajaran yang mendorong umat Muslim untuk berusaha mewujudkan keadilan, kedamaian, dan keharmonisan, meskipun perbedaan agama dan ideologi ada di antara berbagai kelompok.
Generalisasi terhadap seluruh komunitas berdasarkan tindakan segelintir orang atau kelompok bisa memperburuk konflik dan memperpanjang permusuhan. Ada banyak inisiatif damai yang melibatkan Muslim, Yahudi, dan orang-orang dari agama lain yang berusaha mencari solusi untuk konflik ini melalui dialog dan upaya damai. Pandangan ini menunjukkan bahwa jalan menuju perdamaian dan pengertian antar negara sangat diutamakan.
-------
Penulis mencatat bahwa terdapat beberapa poin penting yang dapat dijadikan indikator kejahatan Israel terhadap wilayah kawasan Arab atau Timur Tengah.
Genosida dan Pencaplokan Wilayah Palestina
Isu perebutan wilayah oleh Israel di Palestina adalah salah satu konflik paling kompleks dan mendalam di dunia modern. Banyak orang dan organisasi internasional, termasuk PBB, telah mengutuk kebijakan-kebijakan Israel yang mencaplok wilayah Palestina, terutama setelah Perang Enam Hari tahun 1967. Tindakan-tindakan seperti pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, blokade Gaza, dan penggusuran rumah-rumah warga Palestina sering dianggap melanggar hukum internasional. Namun, istilah "genosida" secara hukum merujuk pada upaya sistematis untuk memusnahkan kelompok etnis, ras, atau agama secara keseluruhan, yang memicu perdebatan tentang penggunaan istilah ini dalam konteks konflik Palestina-Israel.
Pembunuhan Pemimpin dan Sabotase
Ada laporan-laporan yang menyebutkan bahwa Israel, terutama melalui badan intelijennya, Mossad, terlibat dalam berbagai operasi pembunuhan terhadap pemimpin dan ilmuwan dari negara-negara yang dianggap sebagai ancaman. Salah satu insiden terkenal adalah pembunuhan ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh, yang diyakini dilakukan oleh Israel. Pembunuhan ini dikutuk oleh banyak negara, dan dianggap sebagai upaya untuk memperlambat atau menghentikan program nuklir Iran.
Selain itu, pembunuhan tokoh-tokoh Hamas dan Hizbullah melalui serangan udara, pemboman, dan operasi rahasia juga sering terjadi. Serangan-serangan ini sering memicu siklus kekerasan yang lebih besar di kawasan tersebut, dengan dampak signifikan terhadap warga sipil.
Serangan terhadap Warga Sipil
Serangan terhadap warga sipil di Gaza, Lebanon, dan negara-negara lain dalam konflik ini juga menjadi isu kemanusiaan besar. Operasi militer Israel di Gaza, terutama, telah berulang kali dikritik oleh komunitas internasional karena tingginya jumlah korban sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Serangan udara, blokade ekonomi, dan penghalangan akses terhadap bantuan kemanusiaan dianggap memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.
Israel, di sisi lain, sering menyatakan bahwa tindakan militernya merupakan bentuk pertahanan diri terhadap serangan roket dan terorisme yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah, yang juga dianggap sebagai ancaman besar bagi keamanan warga Israel. Namun, tanggapan Israel yang tidak proporsional sering dikritik sebagai penggunaan kekerasan yang berlebihan.
Konteks Geopolitik
Konflik ini juga terkait erat dengan dinamika geopolitik yang melibatkan banyak negara besar, seperti Amerika Serikat, Iran, Rusia, dan negara-negara Arab. Israel mendapat dukungan kuat dari Amerika Serikat, terutama dalam hal pertahanan dan diplomasi. Sementara itu, Iran, Hizbullah di Lebanon, dan kelompok-kelompok perlawanan di Palestina seperti Hamas sering kali mendapatkan dukungan dari negara-negara yang berlawanan dengan kebijakan Israel dan Amerika Serikat.
Upaya untuk Mencapai Perdamaian
Meski konflik ini terus berlanjut, ada banyak upaya internasional untuk mencapai solusi damai. Beberapa inisiatif perdamaian, seperti Perjanjian Oslo di tahun 1990-an dan berbagai negosiasi lainnya, telah dicoba, tetapi hingga saat ini tidak ada solusi jangka panjang yang dapat mengakhiri kekerasan dan penderitaan di kedua belah pihak.
Tindakan Israel banyak dikecam, karena tingginya jumlah korban sipil dan dampak kemanusiaan yang sangat besar. Namun, konflik ini sangat kompleks dan berakar pada sejarah panjang, termasuk kolonialisme, nasionalisme, dan pertarungan atas identitas serta wilayah. Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa solusi yang adil dan menyeluruh bagi semua pihak yang terlibat, dengan fokus pada penghormatan hak asasi manusia, keadilan, dan perdamaian di kawasan tersebut, masih dianggap indikator penting untuk diimplementasikan, ditaati dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkonflik, terutama Israel yang berada pada posisi yang dominan.
Israel harus menghentikan ambisinya untuk pencaplokan wilayah dan bertindak sebagai negara berdaulat yang hidup berdampingan secara damai. Kehancuran yang dialami Gaza dan Lebanon akibat operasi militer Israel telah menimbulkan dampak yang sangat parah, terutama bagi warga sipil. Pihak internasional mengutuk tindakan-tindakan Israel sebagai pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional.
--------
Penulis mengemukakan bahwa dalam upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel dapat ditempuh langkah, seperti di bawah ini:
1. Penghentian Ambisi Teritorial dan Genosida
Banyak negara dan organisasi internasional, seperti PBB, Amnesty International, dan Human Rights Watch, telah menyatakan bahwa kebijakan perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat dan tindakan militer di Gaza serta Lebanon melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap warga sipil selama perang. Tindakan-tindakan seperti ini dapat dipandang sebagai upaya pencaplokan wilayah secara ilegal dan bahkan bisa didefinisikan sebagai bentuk "apartheid" atau penindasan sistematis terhadap suatu kelompok etnis, yang merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Genosida adalah istilah yang sangat berat dan biasanya didefinisikan sebagai upaya pemusnahan total terhadap suatu kelompok etnis, ras, atau agama. Meskipun ada banyak tuduhan mengenai kebijakan Israel yang secara struktural menindas rakyat Palestina, komunitas internasional masih berbeda pendapat tentang apakah tindakan tersebut memenuhi syarat untuk disebut genosida. Meski begitu, kebijakan Israel di wilayah Palestina telah berulang kali dikecam sebagai tindakan yang tidak proporsional, terutama ketika menyasar warga sipil dan infrastruktur sipil di Gaza.
2. Tanggung Jawab Israel dalam Kehancuran Gaza dan Lebanon
Banyak yang berpendapat bahwa Israel harus bertanggung jawab atas kehancuran yang ditimbulkan dalam operasi-operasi militernya, baik di Gaza maupun di Lebanon. Dalam hukum internasional, ada konsep “reparasi” di mana negara yang telah menyebabkan kerugian besar melalui tindakan ilegal, seperti pelanggaran hukum kemanusiaan, diharuskan memberikan ganti rugi kepada korban.
Serangan besar-besaran terhadap infrastruktur sipil, seperti rumah sakit, sekolah, dan perumahan di Gaza dan Lebanon, sering kali dianggap melanggar prinsip “proporsionalitas” dalam hukum perang, yang mewajibkan negara-negara untuk membatasi kekuatan yang digunakan agar tidak menyebabkan korban sipil berlebihan. Penghancuran besar-besaran semacam ini juga berkontribusi pada ketegangan politik yang berkepanjangan dan memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Namun, Israel sering membela tindakannya dengan alasan bahwa operasi militer tersebut adalah bentuk "pertahanan diri" terhadap serangan roket dan aktivitas teroris yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah. Meskipun demikian, komunitas internasional sering mempertanyakan apakah tindakan Israel benar-benar proporsional dan sesuai dengan hukum internasional.
3. Tuntutan Ganti Rugi sebagai Penjahat Perang
Mengategorikan Israel sebagai "penjahat perang" adalah pernyataan yang sering disuarakan oleh aktivis kemanusiaan dan kelompok advokasi hak asasi manusia, yang melihat tindakan militer Israel sebagai pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional. Pengadilan Pidana Internasional (ICC) telah mulai menyelidiki dugaan kejahatan perang di wilayah Palestina, termasuk tindakan yang dilakukan oleh Israel dan kelompok bersenjata Palestina seperti Hamas.
Jika tindakan militer Israel dianggap melanggar hukum perang, maka ada dasar hukum bagi pengajuan tuntutan reparasi atau ganti rugi untuk korban sipil, serta kemungkinan tuntutan terhadap individu atau pemimpin militer yang bertanggung jawab. Namun, proses ini sangat rumit, terutama karena adanya dukungan politik dan diplomatik yang kuat untuk Israel dari beberapa negara besar, seperti Amerika Serikat, yang sering memveto resolusi-resolusi PBB yang mengecam tindakan Israel.
4. Solusi Jangka Panjang: Kedamaian dan Keadilan
Solusi yang banyak diharapkan oleh masyarakat internasional adalah “solusi dua negara” di mana Israel dan Palestina hidup berdampingan sebagai negara yang berdaulat dan merdeka. Meski demikian, upaya untuk mencapai solusi ini terhambat oleh dinamika politik yang kompleks, seperti ekspansi pemukiman ilegal, status Yerusalem, dan hak kembali bagi pengungsi Palestina.
Tuntutan agar Israel bertanggung jawab atas tindakannya di Gaza dan Lebanon juga menunjukkan pentingnya penegakan keadilan, di mana pihak yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia harus bertanggung jawab, baik secara hukum maupun moral. Hanya dengan cara ini mungkin akan tercapai kedamaian yang berkelanjutan.
0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda