FOTO ILUSTRASI SERBA-SERBI UJIAN NASIONAL |
Republika dan Tempo merilis laporan jurnalistik yang membahas tentang wacana pengembalian Ujian Nasional (UN) di Indonesia mencerminkan dinamika yang kompleks dalam sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, Ujian Nasional telah menjadi topik yang kontroversial, dengan berbagai pendapat yang muncul dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pendidik, dan siswa. Artikel ini menguraikan pandangan dan argumen yang mendasari rencana tersebut, serta tantangan dan implikasi yang mungkin timbul dari penerapan kembali UN.
Sejak dihapuskan pada tahun 2021, Ujian Nasional telah menjadi subjek perdebatan yang intens. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, mengisyaratkan bahwa ada kemungkinan UN akan diadakan kembali, tetapi dengan penekanan pada pentingnya mendengarkan masukan dari berbagai pihak sebelum mengambil keputusan. Hal ini menunjukkan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam pengambilan keputusan pendidikan, yang sangat penting mengingat dampak luas yang dimiliki UN terhadap siswa dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Salah satu argumen yang diajukan oleh Triana, seorang pengamat pendidikan, adalah bahwa penghapusan UN tidak seharusnya menjadi solusi akhir. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem evaluasi yang ada. Dalam pandangannya, teknologi asesmen modern, seperti Computer Adaptive Test (CAT), dapat digunakan untuk meningkatkan integritas dan efektivitas ujian. Ini menunjukkan bahwa ada kesadaran akan perlunya inovasi dalam sistem evaluasi pendidikan, yang seharusnya tidak hanya berfokus pada penghapusan ujian, tetapi juga pada peningkatan kualitas dan keandalan metode evaluasi yang digunakan.
Elly Hasan Sadeli, seorang akademisi dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, menambahkan dimensi lain dalam diskusi ini dengan menyoroti dampak dari penerapan kembali UN terhadap kualitas pendidikan. Dia mencatat bahwa meskipun UN dapat berfungsi sebagai alat ukur standar pendidikan, ada kekhawatiran bahwa fokus yang berlebihan pada hasil ujian dapat mengurangi kualitas pembelajaran. Dalam konteks ini, ada risiko bahwa guru dan siswa akan lebih memprioritaskan persiapan untuk ujian daripada pemahaman mendalam terhadap materi pelajaran. Hal ini dapat mengarah pada pembelajaran yang bersifat mekanis, di mana siswa hanya menghafal informasi untuk lulus ujian, tanpa benar-benar memahami konsep yang diajarkan.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh pengalaman sebelumnya, di mana UN sering kali menjadi sumber stres bagi siswa. Ketika UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan, siswa dapat merasa tertekan untuk mencapai angka tertentu, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kesehatan mental mereka. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak psikologis dari penerapan kembali UN, terutama jika tidak ada dukungan yang memadai untuk membantu siswa mengatasi tekanan tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, laporan jurnalistik tersebut menyoroti ketidakmerataan dalam infrastruktur pendidikan di Indonesia. Elly mencatat bahwa kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia harus diperhatikan sebelum menerapkan kembali UN. Di berbagai wilayah, ketersediaan sumber daya pendidikan, termasuk akses ke teknologi dan pelatihan untuk guru, sangat bervariasi. Jika UN dijadikan sebagai satu-satunya alat ukur kelulusan, maka akan ada risiko besar bahwa siswa dari daerah dengan infrastruktur yang kurang memadai akan dirugikan. Ini dapat memperbesar kesenjangan pendidikan antarwilayah, yang sudah menjadi masalah yang signifikan di Indonesia.
Sementara itu, ada juga argumen yang mendukung UN sebagai alat evaluasi yang penting. Beberapa pendukung berpendapat bahwa UN memberikan pemerintah instrumen untuk mengevaluasi dan membandingkan capaian siswa di berbagai wilayah. Dengan adanya UN, pemerintah dapat mengidentifikasi kesenjangan dalam kualitas pendidikan dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah UN adalah alat ukur terbaik untuk tujuan tersebut, terutama dengan adanya metode penilaian alternatif seperti Asesmen Nasional yang lebih berfokus pada kompetensi dan karakter siswa.
Asesmen Nasional, yang dilakukan untuk mengukur kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar, menawarkan pendekatan yang lebih holistik dalam evaluasi pendidikan. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Elly, Asesmen Nasional juga tidak dapat dijadikan satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa. Ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih beragam dalam evaluasi pendidikan, yang tidak hanya bergantung pada satu jenis ujian atau tes.
Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan bagaimana sistem pendidikan di negara lain telah beradaptasi dengan perubahan zaman. Banyak negara maju telah beralih ke sistem evaluasi yang lebih berbasis kompetensi, yang menilai kemampuan praktis siswa dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata. Ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk mengadopsi pendekatan yang lebih inovatif dan relevan dalam evaluasi pendidikan di Indonesia.
Hal ini mencerminkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dalam pengambilan keputusan terkait Ujian Nasional. Meskipun ada argumen yang mendukung pengembalian UN sebagai alat evaluasi, penting untuk mempertimbangkan dampak yang lebih luas terhadap kualitas pendidikan, kesehatan mental siswa, dan kesenjangan pendidikan antarwilayah. Pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam pengambilan keputusan, serta inovasi dalam metode evaluasi, akan menjadi kunci untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan lebih adil di Indonesia.
Dengan demikian, wacana pengembalian Ujian Nasional bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga mencakup aspek sosial, psikologis, dan etis yang harus dipertimbangkan secara mendalam. Keputusan yang diambil harus mencerminkan kebutuhan dan aspirasi semua pemangku kepentingan, termasuk siswa, guru, dan masyarakat luas, untuk memastikan bahwa sistem pendidikan di Indonesia dapat memenuhi tantangan dan tuntutan zaman yang terus berubah.
0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda