Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Menata Laboratorium Dakwah Terintegrasi


Penulis:
Dr. Icol Dianto, S.Sos.I., M.Kom.I
Akademisi Dakwah Studies pada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SYAHADA Padangsidimpuan

Pada satu sesi acara, Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syahada pernah menyebut bahwa Fakultas Dakwah perlu membangun hubungan yang dekat dengan masyarakat. Saya lupa kapan dan acara apa, namun satu hal yang menarik adalah pernyataan ini mempunyai makna.

Kalau boleh kita menebak, pernyataan Dekan tersebut memiliki hubungan yang erat dengan daya minat masyarakat, terutama calon mahasiswa baru, untuk berkuliah di Fakultas Dakwah. Karena, kalau tafsirnya tidak seperti itu, ya kurang tepat. Karena, kita tahu bahwa dosen-dosen Fakultas Dakwah memiliki aktivitas yang membumi dengan masyarakat. Sebut saja beberapa contoh, dosen-dosen Fakultas Dakwah yang menjadi Pengurus Masjid, aktor sentral pada acara keagamaan, dan da’i (penceramah). Pekerjaan tersebut tentu sangat dekat dengan masyarakat.

Katakanlah betul maksud Dekan Fakultas Dakwah itu, bahwa ada keterkaitan statement tersebut dengan kondisi (realitas), yang mana Fakultas Dakwah kurang diminati. Hal ini sangat menarik untuk didiskusikan. Pertanyaan yang ingin dijawab terlebih dahulu adalah, apakah sosialisasi tidak maksimal? Bukankah UIN memiliki agenda tetap untuk program sosialisasi ini? Apakah tim sosialisasi menjelaskan keunggulan Fakultas Dakwah? Selain itu, Fakultas Dakwah juga memiliki agenda promosi secara mandiri. Kalau begitu, promosi sudah ada (banyak) namun tidak memberikan dampak signifikan terhadap Fakultas Dakwah.

Saya melihat persoalan ini dari dua perspektif, yaitu perspektif kebijakan (faktor eksternal) dan perspektif pengembangan (faktor internal). Kebijakan menempati posisi yang penting, yang berisi sekumpulan konsep dan asas untuk dijadikan pedoman (dasar) dalam mendukung atau menghambat suatu program. Kebijakan ini bisa saja berkaitan dengan pemerintah (negara), organisasi, dan individual. Namun, yang saya maksud kebijakan di sini adalah kebijakan dari pemerintah.

Duduk perkaranya di sini, saya mengamati bahwa Ilmu Dakwah itu jumping (lompat) dari yang tidak dikenal pada sekolah Madrasah tetapi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam malah menjadi sebuah fakultas. Kalaupun ada pembahasan tentang Dakwah di madrasah, itu hanya sebatas praktik ceramah agama. Dalam hal ini, dakwah hanyalah keterampilan dan seni untuk menyebarluaskan pesan-pesan (ajaran) agama.

Dengan begitu, calon-calon mahasiswa dari Madrasah itu tidak kenal dengan Fakultas Dakwah, apalagi Ilmu Dakwah. Padahal, Dakwah adalah bagian dari Ilmu-Ilmu Keislaman (baca PMA nomor 110 tahun 1982 tentang Pembidangan Ilmu Agama Islam).

Seharusnya, Ilmu Dakwah dan karier akademiknya itu dikenalkan sejak peserta didik menempuh jenjang pendidikan di madrasah. Hal ini menambah wawasan akademis peserta didik untuk mendalami ilmu dan merencanakan karier di bidang ilmu Dakwah. Maka dalam hal ini, Pemerintah melalui Menteri Agama RI (Dirjen Pendidikan Islam), hendaknya memasukkan ilmu Dakwah dalam kurikulum madrasah.

Selanjutnya, persoalan rendahnya daya minat peserta didik untuk melanjutkan ke Fakultas Dakwah karena branding fakultas Dakwah itu belum maksimal. Fakultas Dakwah harus mampu berkreativitas dan inovasi untuk membangun good image. Banyak hal yang dapat dilakukan penyelenggara Fakultas Dakwah untuk urusan ini.

Meminjam teorinya Naomi Klein, kita di Fakultas Dakwah itu harus melakukan shock-branding, terus melakukan propaganda positif. Salah satu peran kunci adalah laboratorium Dakwah. Dari sinilah semua kreativitas dan inovasi dimulai.

Mencermati beban tugas yang diamanatkan kepada ketua program studi, dekan, dan para wakil dekan, semua disibukkan pada program-program rutinitas belaka. Misal program rutinitas; menyusun kurikulum, membuat RPS, mengagendakan perkuliahan, KRS, ujian-ujian, menghadapi audit mutu, asesor akreditasi, menyusun borang akreditasi, dan lain-lain. Belum lagi, dekan, wakil dekan, kaprodi sampai sekretaris prodi, mereka harus melaksanakan pendidikan dan pengajaran, melaksanakan penelitian dan publikasi ilmiah, dan melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Dengan begitu, mereka tidak lagi mampu membangun kreativitas dan inovasi. Lalu, adakah lembaga di Fakultas itu yang lebih tepat untuk dijadikan wadah mengembangkan kreativitas dan inovasi, maka jawabnya adalah Laboratorium Dakwah.

Secara kepangkatan, selama ini kepala labor lebih rendah dari ketua program studi. Jika ketua program studi harus sudah lektor, tetapi jabatan kepala laboratorium masih boleh asisten ahli. Meskipun dalam PO PAK 2019, antara jabatan ketua program studi tidak berada pada indikator yang sama dengan kepala laboratorium, namum menariknya nilai KUM sama, yaitu 3 poin.

Dalam statuta UIN SYAHADA pun jabatan ketua program studi diletakkan satu tingkat di atas kepala laboratorium. Hal ini menjadi kendala bagi Kepala Labor untuk berdiskusi secara berimbang, dan posisi setara.

Laboratorium adalah tempat para akademisi untuk merancang, membangun, mengembangkan, dan mengevaluasi program riset atau pembelajaran. Kalau definisi ini dikaitkan dengan Dakwah, yang pada satu sisi dakwah adalah ilmu sosial berbasiskan pada nilai dan perspektif agama. Maka secara sederhana, laboratorium dakwah identik dengan laboratorium sosial. Dengan begitu, laboratorium dakwah itu adalah tempat untuk akademisi dakwah (dosen peneliti) untuk merancang, mengembangkan, dan mengevaluasi dakwah, baik dakwah praktis maupun dakwah teoretis.

Laboratorium dakwah tempat bagi para dosen Fakultas Dakwah untuk merancang model, metode, materi, dan media dakwah. Bahkan, dampak (impact) dakwahpun dirumuskan di sini. Singkatnya, laboratorium dakwah itu sebagai wadah untuk dosen dakwah berkreativitas dan berinovasi.

Mencermati deskripsi tentang laboratorium dakwah di atas, terbetik di pikiran kita, apakah laboratorium dakwah sudah mengemban fungsi tersebut? Selama hampir 7 tahun bergabung sebagai dosen di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SYAHADA Padangsidimpuan, laboratorium dakwah baru sebatas untuk mengurus mahasiswa untuk praktikum, yang dikenal dengan PDL (praktik dakwah lapangan). Sekali-sekali, laboratorium dakwah mengadakan pelatihan jurnalistik (spt: praktik menyiar di radio fakultas dan radio komersial lokal).

Sebenarnya tidak ada salah dengan fungsi tersebut. Namun alangkah baiknya fungsi laboratorium dakwah itu dimaksimalkan. Maksud saya, laboratorium dakwah itu selain memfasilitasi praktikum bagi mahasiswa, juga difungsikan sebagai wadah yang memfasilitasi riset dan pembelajaran. Apa sih contoh riil dari memfasilitasi riset dan pembelajaran, misal dosen membuat desain modul dan kemudian diujikan modul tersebut kepada mahasiswa. Hal ini bisa dilakukan di laboratorium dakwah. Demikian juga menguji modul, desain, dan teori yang ditemukan oleh para dosen dakwah. Maka, melalui laboratorium dakwah dapat membantu dosen untuk melakukan uji coba di lapangan (masyarakat). Dengan begitu, laboratorium dakwah berjalan pada koridor yang benar.

Model laboratorium dakwah yang terintegrasi dalam artikel ini adalah bagaimana laboratorium dakwah mampu memfasilitasi praktikum bagi semua civitas akademika program studi yang ada di Fakultas Dakwah. Tidak hanya prodi Komunikasi Penyiaran Islam, melainkan juga BKI, PMI, MD, Jurnalistik, dan Kesejahteraan Sosial. Untuk konteks FDIK UIN SYAHADA Padangsidimpuan, mungkin Anda akan membantah dan bertanya, bukankah BKI sudah ada Counseling Center? Saya balik bertanya, lalu bagaimana dengan prodi Pengembangan Masyarakat Islam, Manajemen Dakwah, Kesejahteraan Sosial? Nah, di sinilah perlu konsep laboratorium dakwah yang terintegrasi.

Laboratorium dakwah terintegrasi itu dapat dijelaskan dari tiga aspek utama, yaitu aspek sumber daya ketenagaan, program, dan penerima manfaat. Dari segi sumber daya ketenagaan, laboratorium dakwah perlu dipimpin oleh dosen yang secara kepangkatan setara atau lebih tinggi dari kepangkatan Kaprodi. Apabila ada 4 program studi seperti FDIK UIN SYAHADA ini, maka diperlukan pula nanti 4 orang tenaga ahli dari masing-masing prodi. Mereka menduduki posisi kepala seksi komunikasi dan penyiaran Islam diambilkan dari dosen yang bidang ilmunya KPI, kepala seksi bimbingan dan konseling islam diambil pula dari dosen yang ahli bidang BKI, begitulah seterusnya. Untuk mensiasati kelangkaan tenaga dosen, pihak kampus bisa merekrut PPPK.

Terintegrasi dari aspek program, maka program yang ditangani oleh laboratorium dakwah tidak hanya program praktikum tetapi juga meliputi program merancang, mengembangkan, dan mengevaluasi, termasuk program riset dan pembelajaran, terutama riset-riset mandiri dosen Fakultas Dakwah.

Terakhir, laboratorium dakwah yang terintegrasi ditinjau dari aspek penerima manfaat, maka laboratorium dakwah tidak hanya memfasilitasi mahasiswa tetapi juga memfasilitasi dosen. Manfaat untuk mahasiswa, sepeti yang telah berjalan selama ini, pihak laboratorium memfasilitasi kegiatan praktikum dakwah lapangan. Sementara itu, untuk penerima manfaat itu adalah dosen maka salah satunya memfasilitasi riset mandiri dosen, uji coba model dan desain, dan sejenisnya. Tentu saja ini bisa lagi diperluas jika memang diperlukan dan mendukung sumber daya.

Wah, kalau begitu ribet sekali jabatan kepala laboratorium. Disenyumin aja, ya itu kan tugasnya makanya jabatan tersebut mesti setara atau lebih tinggi dari Kaprodi. Ya, mungkin tepatnya setara Ketua Jurusan yang membawahi beberapa program studi.

Tantangannya bagi Rektor dan Dekan, sudahkah kita siap untuk membangun laboratorium dakwah yang terintegrasi? Bagaimana dukungan SDM, sarana, dan prasarana? Ini adalah kewenangan pemangku kepentingan untuk memfasilitasi pengimplementasiannya.

Akhirnya, sampailah kita di penghujung tulisan ini. Mungkin Anda bertanya, artikel yang panjang kali lebar tadi, apa hubungannya dengan daya tarik calon mahasiswa untuk berkuliah di Fakultas Dakwah? Singkat saja saya jawab, dengan dua perspektif yang dijelaskan itu, maka peluang Fakultas Dakwah untuk dikenal secara mutu (kualitas) makin terbuka lebar. Ibaratnya, sudahlah didukung sosialisasi melalui kurikulum madrasah dengan memasukkan Ilmu Dakwah, kemudian disusul pula oleh branding positif (good image) institusional yang mengelola Fakultas Dakwah. Dengan begitu, daya minat masyarakat akan meningkat untuk berkuliah atau menguliahkan anaknya di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Semoga bermanfaat. Aamiiin. ***

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah