Beberapa akademisi di Fakultas Dakwah memperdebatkan kompetensi keilmuan program studi Manajemen Dakwah. Apakah ilmu Manajemen yang menjadi induknya atau ilmu Dakwah? Terlepas dari perdebatan itu, langkah konkret yang perlu dipertimbangkan adalah apa kompetensi lulusan Manajemen Dakwah?
Manajemen Dakwah merupakan sintesis dari ilmu Dakwah dan ilmu Manajemen. Program studi ini lahir dari integrasi ilmu Dakwah dengan ilmu Manajemen. Namun, integrasi ilmu yang diinginkan oleh program studi ini bukanlah integrasi yang sebanding, “apple to apple.” Melainkan integrasi ilmu parsial, yang mana Dakwah sebagai core (inti) ilmu yang mendapatkan sentuhan dari ilmu Manajemen. Dalam hal ini, ilmu Manajemen sebagai ilmu bantu yang dominan di antara ilmu yang lainnya, seperti sosiologi, psikologi, komunikasi, dan lainnya.
Ilmu Manajemen telah memasuki banyak disiplin, dapat dikatakan ilmu Manajemen sebagai ilmu alat untuk memperkuat, mengembangkan, dan mengevaluasi aktivitas Dakwah. Dengan bantuan ilmu Manajemen untuk menyelenggarakan kegiatan dakwah praktis yang lebih terencana dan terarah untuk mewujudkan tujuan dakwah.
Kita tinggalkan perdebatan klasik yang kontra produktif tersebut. Kini, marilah kita memantapkan visi dan misi untuk membumikan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan nilai dari alumni Program studi Manajemen Dakwah. Sebelum lebih jauh melangkah, informasi menarik saat ini bahwa telah dibukanya Program S2 Manajemen Dakwah di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), salah satunya adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentu saja UIN Jakarta memiliki analisis yang mapan untuk membuka program Magister Manajemen Dakwah tersebut. Minat dan keterpakaian lulusan menjadi indikator yang ikut dipertimbangkan, minimal matang analisis SWOT.
Dulu, sebelum tren wisata religi berkembang, lulusan Manajemen Dakwah hanya mengandalkan usaha travel umrah sebagai target pasar. Beberapa Perguruan Tinggi menargetkan pengelolaan program manasik haji dan umrah. Mengapa Fakultas Dakwah tidak menargetkan perusahaan-perusahaan besar seperti perkebunan, pertambangan, dan manufaktur. Asumsi yang kuat adalah relevansi kompetensi lulusan program studi Manajemen Dakwah. Ditambah lagi, gelar akademik tidak menggambarkan mereka (lulusan Manajemen Dakwah) itu sebagai sarjana yang mahir dan terampil di bidang manajemen. Alih-alih, user market (stakeholder, industri) akan memandang bahwa mereka sarjana Manajemen Dakwah sebagai ahli dakwah dan agama.
Selain itu, lulusan Manajemen Dakwah juga digiring untuk menjadi Even Organizer (EO) acara keagamaan, budaya, dan sosial. Tentu upaya ini kita hargai sebagai upaya Perguruan Tinggi Islam untuk memperluas cakupan dan target pasar. Salah satu langkah yang relevan untuk memantapkan keterampilan sebagai EO ini tentu secara aktif melibatkan mahasiswa Manajemen Dakwah dalam acara-acara besar perguruan tinggi, seperti lomba, wisuda, dan orientasi mahasiswa baru. EO tidak bisa hanya sebatas mempelajari teori, namun lebih besar porsinya di ranah praktikum (psikomotor).
Meninjau beberapa keluhan penyelenggara program studi Manajemen Dakwah, kita sebutlah mengenai penelitian para dosen program studi Manajemen Dakwah ini, masih belum menyentuh subtansi keilmuan Manajemen Dakwah. Kegelisahan inipun terjadi saat pengusulan rekrutmen dosen Manajemen Dakwah. Yang menjadi sumber perdebatannya apakah Magister Manajemen atau Magister Dakwah? Maka, dengan lahirnya program Magister Manajemen Dakwah memperjelas status keilmuan program studi ini di masa depan.
Menuju Industri Halal Tourism
Halal tourism dapat dipahami secara definitif sebagai wisata halal. Tema ini telah menjadi tren wisata mancanegara. Halal tourism tidak sebatas pada tempat-tempat suci, seperti masjid dan makam para Wali. Namun, Halal tourism menyentuh produk-produk makanan dan pakaian yang sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Halal tourism sudah menjadi sektor industri pariwisata. Stakrholder (pemerintah dan investor) berupaya menangkap pasar, wisatawan lokal dan intrernasional, Muslim dan non-Muslim, dengan menyediakan produk, fasilitas, dan infrastruktur pariwisata untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Halal tourism dimaknai beragam oleh kelompok masyarakat. Akademisi berusaha membuat indikator-indikator yang mempresentasikan Halal tourism. Karena memang, tidak semua industri wisata dapat diasosiasikan dengan brand Halal. Di antara indikator Halal tourism adalah tempat, pelaku, dan aktivitas. Halal tourism memiliki tempat atau objek yang berkaitan dengan simbol dan sejarah Islam, seperti makam orang sholeh, peninggalan kerajaan Islam, masjid bersejarah, dan sejenisnya. Tentu, tempat yang dijadikan sebagai objek dari Halal tourism bukanlah tempat yang menyajikan aktivitas-aktivitas yang tidak Islami, misal kemaksiatan, perjudian, dan jenis kemungkaran lainnya.
Dari segi pelaku, Halal tourism dikelola oleh Muslim dan dikunjungi oleh wisatawan Muslim juga. Namun, kebutuhan terhadap aktivitas wisata sudah melampaui batas-batas ideologi dan keimanan. Tidak heran juga banyak turis non Muslim mendatangi jejak-jejak peninggalan kerajaan Islam, pun sebaliknya banyak muslim yang berwisata ke Candi Borobudur, Prambanan, dan tempat sejarah agama lain. Semua aktivitas itu hanyalah didasarkan pada pemenuhan kebutuhan berekreasi, sebagaimana digagas Maslow. Justru dalam hal wisata, semua orang adalah pangsa pasar yang harus dipertimbangkan.
Terakhir, indikator yang mempresentasikan Halal tourism adalah aktivitas. Meskipun pelaku dan tempat wisata sudah mewakili nilai-nilai Islam, namun bila aktivitasnya menampilkan budaya yang bertentangan dengan Islam, maka itu bukanlah Halal tourism.
Di mana posisi alumni Manajemen Dakwah? Ya, sesuai dengan kompetensi keilmuannya bahwa para sarjana Manajemen Dakwah mahir memanajemen aktivitas dakwah. Mereka yang akan menggerakkan industri-industri Halal tourism. Apalagi potensi wisata di Indonesia yang kaya dengan nilai budaya, kearifan lokal, dan historis.
Beberapa peneliti sudah melaporkan riset mereka, yang menunjukkan tren positif industri Halal tourism ini. Sebut saja, Slamet, Abdullah, dan Laila (The contestation of the meaning of halal tourism, Heliyon, 2022)., yang mana menurut riset mereka bahwa Pemerintah aktif membranding pariwisata dengan label Halal tourism. Hal ini dilakukan untuk kepentingan ekonomi dan politik.
Halal tourism terus mengalami perkembangan seiring dengan meningkatnya kesadaran kolektivitas beragama. Halal tourism menjadi budaya wisata global Muslim dewasa ini. Halal tourism telah membuktikan terjadi dampak positif terhadap peningkatan pendapatan, menambah lapangan pekerjaan, dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat lokal.
Halal tourism menjadi penting untuk dikembangkan oleh pegiat dan pelaku yang memang memiliki kompetensi keislaman dan mumpuni dalam hal manajemen. Itulah alasan mengapa Perguruan Tinggi Islam, khususnya program studi Manajemen Dakwah, untuk memperluas kompetensi lulusannya ke ranah Halal tourism ini.
Memperkuat Kompetensi ke Ranah Ecotourism
Ecotourism adalah pemanfaatan objek alam sebagai tempat wisata. Secara sederhana, Ecotourism disebut juga dengan wisata lingkungan atau wisata alam. Konsep Ecotourism ini dikembangkan oleh pemerhati dan pegiat lingkungan. Mereka prihatin dengan dampak pembangunan yang merusak ekosistem alam. Upaya industrialisasi global telah berdampak pada darurat iklim, terjadi perubahan iklim (climate changes) yang merusak keseimbangan kehidupan di bumi.
Para aktivis lingkungan membangun kesadaran global atas bahaya ini. Mereka terus menyuarakan kebijakan-kebijakan pemerintah (negara) yang berpihak pada perbaikan linkungan. Namun, kampanye ini menimbulkan dilema di tingkat masyarakat akar rumput. Misalkan masyarakat pinggir hutan, sumber mata pencaharian mereka adalah berpusat pada hutan. Hutan mereka jadikan kebun, pohon dikomersilkan ke industri papan/perumahan, dan dalam skala besar pengrusakan dilakukan oleh industri perkebunan, semisal perkebunan kelapa sawit.
Menyikapi kondisi yang dilematis ini, para aktivis lingkungan mencoba untuk menyadarkan masyarakat, bahwa hutan perlu dijaga. Hasil hutan dimanfaatkan namun hutan tidak boleh dirusak. Maka, aktivitas mengelola linkungan hutan inilah muncul beragam bentuk dari ecotourism. Para aktivis menjadikan lingkungan alam yang asri, dengan ragam objek yang potensial untuk diwisatakan, air terjun, waduk, kebun bunga dan buah, satwa, dan lain-lainnya.
Dengan begitu, lingkungan dan hutan akan terjaga dan masyarakatpun tetap hidup perekonomiannya. Kemudian, kecenderungan masyarakat global untuk berwisata di alam bebas, keindahan alamiah, asri, dan penuh tantangan seperti lingkungan geografis di Indonesia, merupakan potensi yang sangat besar untuk dijadikan pundi-pundi dolar. Namun, upaya yang profesional sangat diperlukan.
Lalu, pertanyaannya apa hubungannya Ecotourism ini dengan program studi Manajemen Dakwah. Bukankah program studi lain juga bisa melakukannya? Anda betul dalam hal ini. Namun, kita tidak bisa buru-buru sepakat. Saya tidak begitu memahami program studi lain yang Anda maksud. Meski begitu, saya bisa menjelaskan bahwa Ecotourism sangat urgen dijadikan target (peluang) bisnis bagi program studi Manajemen Dakwah.
Kita, pengelola Perguruan Tinggi, dituntut terus berinovasi untuk menciptakan pasar kerja bagi lulusan, istilahnya Diversitas (keberagaman) kompetensi Manajemen Dakwah. Sebenarnya, pengelolaan wisata dengan jenis wisata religi, sudah dari awal berdirinya program studi Manajemen Dakwah menyentuh ranah tersebut, seperti yang sudah penulis sajikan di awal artikel ini.
Saya hendak mengemukakan sudut pandang lain, yaitu Dakwah studies. Jika kita sepakat bahwa Manajemen Dakwah adalah bagian dari Dakwah studies, maka Ecotourism selaras dengan tujuan dakwah yang tidak terpisahkan dari Dakwah studies. Salah satu tujuan dakwah yang sering dibahas adalah menggapai kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat, sebagaimana digagas oleh Syeik Ali Mahfuz. Maka, Ecotourism dapat dijadikan sebagai wadah dan aktivitas bisnis yang selaras dengan tujuan kesejahteraan dunia.
Luas memang makna kesejahteraan itu, tidak sebatas pada finansial, kekayaan, materi, dan harta sejenisnya. Namun, kesejahteraan itu pun dapat dimaknai kebahagiaan seperti dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dan Buya Hamka. Sampai disini kita sudah mulai menganggukkan kepala bukan? Jelas ketersediaan tempat wisata yang asri, indah, dan nyaman adalah alat untuk bisa membuat kita bahagia.
Lalu, tujuan dakwah juga sering dikaitkan dengan tiga tujuan manusia diciptakan, yaitu sebagai khalifah, tujuan pengabdian (ibadah), dan tujuan fitrah. Ini secara luas bisa dikembangkan. Namun, dalam seri artikel populer ini saya hanya membukakan pintu analisis dan diskusi saja.
Sebagaimana dimaklumi, tujuan dakwah adalah mengingatkan manusia kepada tiga fungsi penciptaan manusia tersebut. Sebut saja fungsi sebagai khalifah. Fungsi ini dimaknai bahwa manusia mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi, yaitu menjaga, memanfaatkan, dan melestarikan bumi. Dengan adanya Ecotourism, tentu keseimbangan bumi dapat dijaga. Lalu, sebagai komunitas Dakwah, siapa yang lebih tepat mengemban peran itu, jawabannya adalah sarjana Manajemen Dakwah.
Anda tentu akan membantah, toh program studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) juga bisa melakukan itu. Ya, tepat sekali. Kali ini saya setuju dengan Anda. Saya sudah memulai untuk itu. Di sinilah nanti konsep kolaborasi antar lulusan dari Dakwah studies ini diperlukan.
Diperlukan kolaborasi antar lulusan
Kita terkadang suka tidak sabar untuk mengetahui ending suatu sinetron. Demikian juga, perilaku membaca yang tidak tuntas membawa kita salah memahami, ingin menghakimi, dan ujung-ujungnya gagasan ini menjadi mentah juga bukan?
Kini, saya coba membukakan secara sederhana dimana peran kolaborasi antar lulusan dari Dakwah studies itu? Sekadar memperjelas istilah, Dakwah studies itu saya gunakan dalam Disertasi saya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Walaupun saya bukan orang pertama menyebut istilah Dakwah studies, sebelumnya ada Prof. Nur Syam yang telah menggunakan juga dakwah studies. Namun, saya lebih mempertegas lagi. Dakwah studies memang sudah selayaknya menjadi nama Jurusan di level S2 dan S3. Dengan begitu, semua lulusan S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDK, FDIK, Fdikom, sebutan lain), dapat melanjutkan ke level pendidikan yang lebih tinggi. Nanti, konsentrasilah yang membedakan mereka apakah ahli konseling Islam, komunikasi Islam, manajemen dakwah, jurnalistik Islam, PMI, dan kesejahteraan sosial. Mereka berbeda dalam konsentrasi keilmuan, yang ditandai dengan berbedanya mata kuliah bidang ilmu, dan tesis. Ide ini perlu aksi dari pimpinan perguruan tinggi, bagaimana meyakinkan Dakwah studies kepada Kementerian Agama, dan LIPI. Sesungguhnya dakwah studies bukanlah hal baru. Ia adalah bagian dari Islamic studies. Dakwah studies dipopulerkan untuk menjaga eksistensi dan status Dakwah sebagai Ilmu, sama halnya dengan bidang ilmu keislaman lain, sebagaimana telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 110 Tahun 1982 tentang Pembidangan Ilmu Agama Islam.
Kembali ke fokus, seperti janji saya akan membukakan analisis sederhana tentang kolaborasi ini. Saya dapat mendeskripsikan bahwa sarjana Manajemen Dakwah untuk fungsi manajerial dan kepemimpinan. Sarjana PMI untuk fungsi engagement dan penyadaran, sarjana KPI dan Jurnalistik untuk fungsi membangun branding, kampanye branding, dan publisitas. Terakhir, sarjana Bimbingan Konseling bisa membuka layanan terapis sebagai salah satu produk yang tidak terpisahkan dari paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan/turis.
Saya menyadari bahwa peran tersebut bisa diperluas, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk saling dipertukarkan. Memang hal itu bisa terjadi, mengingat mereka itu masih satu rumpun ilmu, yaitu Dakwah studies. Akhirnya, saya kira sudah sepatutnya artikel ini diselesaikan. Saya berharap gagasan ini didiskusikan oleh akademisi Dakwah, terutama dosen, sarjana, dan mahasiswa Manajemen Dakwah, sehingga melahirkan inovasi pengembangan kompetensi program studi ke depannya. ***
0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda